Jumat, 19 April 2013

Sungguh-sungguh kontinuitas dan cita-cita luhur

1.1kesungguhan hati
dalam menuntut ilmu haruslah bersungguh hati



1.2kontinuitas dan mengulang pelajaran
bagi kaum pelajar hendaklah mengulang pelajarannya kembali setelah menuntut ilmu di sekolah,karena dengan hal itu dapat mempermudah ingatan kita pada pelajaran tersebut.Hendaknya mengulang pada waktu magrib dan isya,dan waktu sahur,demikianlah waktu yang membawa berkah.



1.3 Menyantuni sendiri
janganlah membuat diri bersusah hati,hingga jadi diri kita lemah,dan tak mampu berbuat apa-apa,kita haruslah menyantuni diri kita sendiri.Kesantunan itu mendasari kesuksesan segala hal.
Nabi Muhammad SAW..bersabda:"Dirimu itu kendaraanmu,maka santunilah Ia."




1.4Cita-cita Luhur
Dalam menuntut ilmu tentu kita mempunya tujuan tertentu(cita-cita).Manusia semua pastilah mempunyai cita-cita yang ingin di gapainya....



1.5 Usaha sekuat tenaga
setiap orang yang ingin cita-citanya tercapai maka,hendaklah bersungguh-sungguh dalam menjalankan sesuatu hal yang dapat mempermudah tercapainya cita-cita.



1.6 Sebab-sebab kemalasan
sikap malas dapat juga di sebabkan lendir dahak dan badan berminyak akibat terlalu banyak makan
Mengurangi makan dapat dilakukan dengan cara menghayati faedah dan manfaat yang timbul dari makan sedikit

Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu

Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu
Assalamu’alaikum…wr…wb.
Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral alam dirimu, baik untuk maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar engkau bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali berada di tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali untuk menyelesaikan perkara-perkara yang penting.
Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar dalam menuntut ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya, bukan sekadar menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang pelajar itu mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia adalah agar dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya, dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama, yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah) atau yang semisalnya.
Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu dari angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang kehinaan darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut, pengecut, dan terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.
Namun, jangan salah persepsi, jangan campuradukkan antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit dan bumi. Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi, sedangkan kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para diktator yang sebenarnya miskin hati.
Wahai para pelajar, canangkanlah pada dirimu cita-cita yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah memberi isyarat akan hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani setiap hari, agar engkau selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya tayamum bagi mukallaf tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima hadiah sehingga air wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain merasa berjasa padamu. Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah contoh-contoh lain yang seperti ini. Wallaahu a’lam.
Termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan kepunyaan orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan memilikimu, karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada seseorang yang memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi daripada tanganmu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: “Tangan yang di aas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tangan yang di atas adalah yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah yang diberi. Jangan arahkan pandanganmu, juga jangan ulurkan tanganmu untuk meminta kepunyaan orang lain. Sampai-sampai kalau ada orang yang tidak memiliki air (untuk wudhu) lalu ada yang memberinya, maka dia tidak harus menerimanya, tetapi dia boleh bertayamum. Hal ini untuk menghindari jangan sampai dia berhutang budi kepada orang lain. Padahal, wudhu dengan air itu hanya wajib bagi yang mampu mendapatkan air saja. Oleh karena itu, para ulama membedakan antara orang yang mendapatkan orang yang menjual air dengan yang memberinya air, mereka mengatakan, “Kalau ada yang menjual air kepadamu, maka kamu wajib membelinya, karena kalau kamu membelinya, maka itu tidak berakibat engkau berhutang budi kepadanya, karena engkau telah memberi harganya, namun jika ada yang memberimu, maka engkau tidak wajib menerimanya, karena engkau akan berutang budi kepadanya, yang akan mengikat dirimu. Akan tetapi, jika yang memberimu air itu tidak meminta balas budi, bahkan mungkin dia berterima kasih kepadamu karena engkau mau menerima pemberiannya, atau karena yang memberimu adalah orang tertentu yang biasanya tidak harus membalas budi dalam pemberiannya, seperti saudara kepada saudaranya, maka hukum itu tidak berlaku karena sebabnya sudah hilang. Yang penting di sini bahwa termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau menginginkan kepunyaan orang lain.
Antusias dalam Menuntut Ilmu
Jika engkau tahu sebuah kalimat yang iucapkan oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib: “Nilai setiap orang tergantung pada apa yang dia kuasai.” (Lihat Faidhul Qadiir [IV/110]). Ada yang mengatakan: “Tidaklah ada satu kalimat pun yang lebih bisa memberikan semangat bagi penuntut ilmu daripada kalimat ini.” Maka, waspadalah terhadap kesalahan orang yang berkata: “Generasi awal tidaklah meninggalkan apa pun untuk yang sesudahnya,” akan tetapi lafazh yang benar adalah: “Berapa banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya.” Maka, kewajibanmu adalah memperbanyak belajar Sunnah Nabawiyah, dan curahkan kemampuanmu dalam menuntut, menimba, serta meneliti ilmu. Karena, setinggi apa pun ilmumu, engkau harus tetap ingat bahwa: “Berapa banyak yang masih ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi selanjutnya.”
Seseorang yang menguasai ilmu fiqih dan ilmu syariat niscaya akan mempunyai nilai lebih daripada orang yang mahir dalam memperbaiki kabel yang rusak atau lainnya. Hal ini karena keduanya sama-sama menguasai sebuah bidang tertentu, hanya saja ada bedanya antara yang pandai dalam ilmu agama dengan yang pandai dalam ilmu dunia. Dari sini kita ketahui bahwa nilai setiap orang adalah tergantung dari apa yang dia kuasai. Telah disebutkan di atas bahwa “tidak ada ucapan yang lebih bisa memberi semangat bagi penuntut ilmu daripada ucapan ini.” Perkataan yang diambil oleh Syaikh tersebut tidaklah benar, karena kalimat yang paling bisa memberikan semangat belajar para penuntut ilmu adalah firman Allah (yang artinya), “…. Katakanlah: ‘Adaklah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ….” (Az-Zumar: 9). Juga, firman-Nya, “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ….” (Al-Mujaadilah: 11). Dan, sabda Nabi saw., “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agama.” (HR Bukhari dan Muslim). Dan, sabda beliau pula, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi). Dan, nash lainnya yang menganjurkan untuk menuntut ilmu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib adalah sebuah kalimat yang mengandung makna yang luas, hanya saja itu bukan perkataan yang terbaik dalam hal anjuran menuntut ilmu.
Ucapan Syaikh: “Perbanyaklah …,” maksudnya adalah sebuah anjuran agar engkau memperbanyak mendapatkan warisan Rasulullah saw. yang berupa ilmu. Karena, para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak dari warisan tersebut.
Kemudian, ketahuilah bahwasannya warisan Rasulullah ada yang berupa Al-Qur’an dan ada yang berupa As-Sunnah. Apabila warisan itu berupa Al-Qur’an, engkau tidak perlu lagi melihat sanadnya, karena Al-Qur’an sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Adapun jika berupa As-Sunnah, maka yang harus engkau lihat pertama kali adalah apakah Sunnah itu shahih dari Rasulullah atau tidak.
Perkataan Syaikh selanjutnya: “Curahkan kemampuanmu,” maksudnya adalah kemampuan dalam meneliti. Karena, ada sebagian orang yang hanya mengambil zhahir dan umumnya nash tanpa meneliti lagi apakah zhahirnya nash itu yang dimaksud oleh hadits ini ataukah tidak, apakah keumuman nash itu dikhususkan atau tidak. Orang yang tidak menelitinya akan mempertentangkan antara satu hadits dengan yang lainnya, karena dia tidak mempunyai ilmu tentang masalah ini. Ini banyak terjadi di kalangan pelajar yang masih muda, yang banyak perhatian terhadap Sunnah Rasulullah saw. Biasanya salah seorang di antara mereka dengan cepatnya mengambil hukum dari hadits tersebut, atau dengan cepatnya dia menghukumi pada sebuah hadits. Ini adalah sebuah bahaya yang sangat besar.
Perkataan Syaikh: “Setinggi apa pun ilmumu tetaplah ingat bahwa masih sangat banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya.” Ini sebuah perkataan yang bagus, namun ada yang lebih bagus dari itu, yaitu kita katakan, “Setinggi apa pun ilmumu, tetaplah ingat firman Allah: ‘Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui.’ (Yusuf: 76). ‘Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.”
Dalam biografi Ahmad Ibnu Abdul Jalil yang tertulis dalam Tarikh Baghdad oleh Al-Khatib al-Baghdadi, beliau menyebutkan seuntai syair:
“Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib.”
Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menuntut Ilmu
Barang siapa yang tidak pernah pergi untuk menuntut ilmu, maka dia tidak akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang siapa yang tidak pernah pergi dalam masa belajarnya untuk mencari guru serta menimba ilmu dari mereka, maka dia tidak akan didatangi untuk belajar darinya. Karena, para ulama dahulu yang telah melewati masa belajar dan mengajar mempunyai banyak tulisan, karangan-karangan ilmiah, dan pengalaman-pengalaman yang sulit ditemukan di dalam kitab.
Maksud perkataan Syaikh di atas: bahwa orang yang tidak pernah bepergian untuk menuntut ilmu, maka tidak perlu didatangi (untuk ditimba ilmunya).
Dan jauhilah cara belajarnya orang-orang shufi, yang hanya duduk di tempat. Mereka lebih mengutamakan ilmu khark (ilmu yang diambil langsung dengan cara menembus hijab antara dia dengan Allah, ini dalam persangkaan mereka, yang biasa dinamakan dengan ilmu laduni, pent.) daripada ilmu yang diambil dari lembaran-lembaran kitab. Pernah dikatakan kepada sebagian orang di antara mereka: “Mengapa engkau tidak berangkat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazzaq? Maka dia menjawab: “Apa gunanya mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazzaq bagi orang yang bisa mendengar secara langsung dari Allah Ta’ala.” Ada lagi yang mengatakan:
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta’ala.”
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.
Orang-orang shufi mengaku bahwasannya Allah langsung berbicara dengan mereka dan memberikan wahyu kepada mereka, serta mengaku bahwasannya Allah SWT mengunjungi mereka demikian juga sebaliknya. Ini adalah salah satu kepercayaan khurafat mereka.
Ungkapan Syaikh yang terakhir diambil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang ahli kalam, beliau berkata: “Orang-orang ahli kalam itu tidak pernah menolong Islam, juga tidak pernah menghancurkan ahli falsafah.” Maksudnya, ahli kalam itu tidak pernah membela agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw., mereka pun tidak pernah melawan ahli falsafah yang menjelek-jelekkan agama Islam. Bukti akan hal ini bahwasannya ahli kalam itu mengubah beberapa nash dari zhahirnya, mereka menakwilkannya kepada makna lain atau membuat makna yang baru. Mereka mengaku bahwasannya hal itu didasari pada akal yang sehat. Ahli falsafah pun mengatakan kepada mereka: “Kalian menakwilkan ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta’ala, padahal keduanya sangat jelas, kalau begitu biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan asma dan sifat Allah jauh lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang hari kebangkitan. Maka, jika kalian boleh menakwilkan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, bahkan biarkan juga kami mengingkari hari kebangkitan secara total.” Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah hujjah yang sangat kuat bagi ahli falsafah (ahli filsafat, red.) terhadap ahli kalam, karena memang tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Syaikh telah menyerang orang-orang shufi, dan mereka memang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Karena, sebagian orang shufi ada yang sampai batas kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah. Sampai ada di antara mereka yang meyakini bahwasannya dirinya adalah Allah. Salah seorang di antara mereka mengatakan: “Tidaklah yang berada di dalam pakaian ini kecuali Allah,” maksudnya adalah dirinya sendiri. Ada lagi yang berkata:
“Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban.”
Maksudnya, tidak ada perbedaan antara keduanya. Dan, masih banyak lagi khurafat yang mereka ucapkan, namun kita juga seharusnya mengonsentrasikan serangan kepada ahli kalam yang merampas kesempurnaan Allah dengan ucapan-ucapan serta mengingkari sifat-Nya atas dasar akal mereka.
Para ulama yang berbicara tentang masalah pergi belajar belum menjumpai perkembangan teknologi yang ada saat ini. Saat ini kaset rekaman bisa dijadikan sebagai ganti dari pergi menuntut ilmu, meskipun pergi menuntut ilmu tetap lebih besar faidahnya. Karena, kalau engkau pergi kepada seorang alim, maka dia akan memperoleh ilmu, adab, dan akhlaknya. Juga, kalau engkau langsung melihatnya saat berbicara, engkau akan dapat lebih mudah terpengaruh dengannya.
Menjaga Ilmu dengan Mencatatnya
Curahkan kemampuanmu untuk menjaga ilmu dengan mencatatnya, karena dengan mencatat akan aman dari hilangnya ilmu itu, juga bisa mempersingkat waktu kalau ingin membahasnya saat dibutuhkan, terutama beberapa masalah ilmiah yang terdapat bukan pada tempat yang selayaknya. Dan di antara faidahnya yang paling besar adalah saat sudah berusia lanjut dan kekuatan badan sudah melemah, maka engkau masih mempunyai ilmu yang masih bisa ditulis tanpa harus membahas dan menelaahnya kembali.
Betapa banyak masalah-masalah penting tetapi tidak tercatat dengan alasan bahwa insya Allah saya tidak akan lupa. Tetapi, ternyata akhirnya dia pun lupa. Maka, dia berangan-angan seandainya dulu mencatatnya.
Oleh karena itu, catatlah ilmu, terutama faidah-faidah penting yang terdapat bukan pada tempat yang sewajarnya, juga mutiara-mutiara ilmu yang mungkin engkau lihat dan dengar yang engkau khawatir akan hilang serta hal lainnya, karena hafalan itu bisa melemah dan orang bisa saja lupa.
Berkata Imam Asy-Sya’bi, “Apabila engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun di dining.” (Diriwayatkan oleh Khaitsamah). Apabila sudah terkumpul pada dirimu catatan tersebut, maka urutkanlah dalam kitab atau buku saku sesuai dengan judulnya, karena itu akan sangat membantumu pada saat-saat mendesak, yang para ulama besar pun terkadang sulit untuk mendapatkannya.
Menjaga Ilmu dengan Mengamalkannya
Jagalah ilmumu dengan cara mengamalkan dan mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, “Seseorang yang mempelajari hadits wajib untuk mengikhlaskan niatnya dalam belajar dan bertujuan mencari wajah (ridha) Allah, dan janganlah ia jadikan ilmu itu sebagai sarana untuk mencapai kedudukan yang tinggi, jangan pula digunakan untuk mencari jabatan, karena telah daang ancaman bagi orang yang menjual ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Telah datang ancaman bagi orang yang menuntut ilmu namun tidak ikhlas karena Allah, yaitu dia tidak akan mendapatkan bau surga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi, bahwa seharusnya seorang penuntut ilmu itu mengikhlaskan niatnya, yaitu berniat melaksanakan perintah Allah dan mencari pahala dalam belajarnya, menjaga dan membela syariat Allah, dan bertujuan menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, juga orang lain. Semua itu menunjukkan adanya keikhlasan, bukan bertujuan mendapatkan kehormatan, kemuliaan, martabat, dan jabatan.
Jika ada yang bertanya, “Setiap orang yang belajar di perguruan tinggi pasti bertujuan mendapatkan ijazah, yang karena itulah banyak kita lihat sebagian mereka menempuh cara-cara kotor demi memperoleh ijazah tersebut, misalnya ijazah palsu dan semisalnya.” Kita jawab, “Bukankah mungkin saja orang itu belajar di perguruan tinggi dengan niat yang ikhlas, dia bertujuan untuk memberikan manfaat bagi sesama, karena pada zaman ini orang yang tidak mempunyai ijazah tidak akan bisa menjadi guru atau yang sejenisnya dari lembaga-lembaga yang membutuhkan ijazah.
Dan, jika ada yang mengatakan, “Saya ingin mendapatkan ijazah agar bisa mengajar di perguruan tinggi, karena tanpa ijazah saya tidak mungkin bisa mengajar di perguruan tinggi.” Atau, kalau ada yang berkata, “Saya ingin memperoleh ijazah agar saya bisa menjadi seorang dai, karena pada zaman ini seseorang tidak mungkin bisa menjadi dai kecuali kalau memiliki ijazah.” Kalau memang niatnya semacam ini, maka insya Allah itu adalah niat yang baik, yang tidak akan merusak belajar ilmu syar’i. Adapun kalau urusan ilmu duniawi, maka terserah engkau berniat apa saja selama masih dihalalkan oleh Allah. Seandainya ada orang yang belajar ilmu teknik dan berkata, “Saya ingin menjadi insinyur agar nanti gajiku sebesar sepuluh ribu real.” Apakah ini haram? Tidak! Karena, itu ilmu duniawi, semacam pedagang yang berniat agar mendapatkan untuk yang banyak.
Hindarilah sikap berbangga dan menyombongkan diri, juga jangan sampai tujuanmu dalam belajar hadits adalah untuk mencari jabatan, memperbanyak pengikut, serta mendirikan majelis ilmu. Karena, kebanyakan penyakit yang merasuki para ulama adalah dari sisi ini.
Jadikanlah hafalanmu terhadap hadits Rasulullah sebagai hafalan ri’ayah (menjaga ajaran agama), bukan sekadar menghafal untuk meriwayatkannya, karena perawi ilmu itu banyak, namun yang mampu menjaga dan mengamalkannya itu hanya sedikit. Dan betapa banyak orang yang datang untuk belajar tetapi seperti orang yang tidak datang, juga betapa banyak orang yang berilmu seerti orang bodoh dan orang yang menghafal hadits namun sama sekali tidak memahaminya, apabila di dalam menyampaikan ilmunya, menyampaikan hukumnya seperti orang yang kehilangan ilmu dan pengetahuannya.
Maksud menjaga ri’ayah adalah memahami makna hadits, mengamalkan, lalu menjelaskannya kepada orang lain. Sebenarnya tujuan dari belajar Al-Qur’an dan As-Sunnah itu untuk memahami maknanya, sehingga bisa mengamalkan serta mendakwahkannya, namun Allah SWT menjadikan manusia itu bermacam-macam. Ada di antara mereka yang hanya bisa meriwayatkan namun tidak tahu maknanya, kecuali makna yang sangat jelas yang tidak butuh dijelaskan lagi, namun hafalannya sangat kuat. Ada lagi orang yang diberi karunia mudah memahami tetapi lemah dalam hafalan. Namun, ada sebagian manusia yang memiliki keduanya, yaitu kekuatan hafalan dan kefahaman, namun ini sangat jarang.
Rasulullah telah menggambarkan tentang orang-orang yang diberi oleh Allah SWT ilmu sebagai air hujan yang menyirami bumi, maka bumi yang terkena air hujan itu ada tiga macam. (HR Bukhari dan Muslim)
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Kedua, tanah yang bisa menyerap air namun tidak bisa menumbuhkan tanaman. Ini permisalan bagi orang yang memperhatikan ilmu, seperti para perawi hadits, mereka mampu menahan air sehingga orang lain bisa minum dan mengairi sawah untuk menanam, namun mereka sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali sekadar menghafalkannya.
Ketiga, tanah subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan tanaman. Ini permislaan bagi orang yang diberi oleh Allah ilmu dan kefahaman. Mereka bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain.
Maka, seharusnya seseorang yang belajar ilmu agama bersikap berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah sebisanya serta mempraktikkan sunnah pada dirinya, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ….” (Al-Ahzaab: 21).
Firman-Nya yang lain, “Ikutilah aku, iscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31).
Menjaga Hafalan
Jagalah ilmumu dari waktu ke waktu, karena kalau tidak dijaga maka akan hilang meski bagaimanapun hebatnya ilmu itu.
Dari Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya permisalan orang yang menghafal Al-Qur’an semacm pemilik unta yang ditambatkan, kalau dia menjaganya (mengikatnya), maka dia tidak akan pergi, namun jika dilepas, maka dia akan pergi.” (HR Bukhari, Muslim, dan Malik dalam Al-Muwaththa’).
Berkata Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr r.a., “Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak menjaga ilmunya, niscaya ilmu itu akan hilang, karena ilmu mereka pada saat itu hanyalah Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an saja yang dimudahkan oleh Allah dalam menghafalnya bisa hilang kalau tidak dijaga, maka bagaimana dengan ilmu lainnya? Dan sebaik-baik ilmu adalah manakala pokoknya dikuasai betul, sementara cabang-cabangnya dipelajari dan bisa mengantarkannya untuk taat kepada Allah serta bisa menunjukkan kepada perbuatan yang diridhai-Nya.”
Sebagian ulama berkata, “Setiap kemuliaan yang tidak didukung dengan ilmu, maka akan berakhir pada kehinaan.” (Ini adalah ucapan Al-Akhnas bin Qais).
Mendalami Ilmu dengan Mengeluarkan Cabang Ilmu dari Pokoknya
Pelakunya adalah orang yang mampu tafaqquh (mendalami ilmu) menghubungkan hukum-hukum syar’i dari sumbernya. Dalam hadits Abdullah bin Mas’ud bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Semoga Allah memberi cahaya pada wajah orang yang mendengar ucapanku lalu menghafalnya dan memeliharannya, kemudian menyampaikannya sebagaimana dia dingar, betapa banyak orang yang bisa menghafal ilmu namun tidak memahaminya, dan betapa banyak orang yang menghafal ilmu, lalu dia menyampaikannya kepada orang yang lebih paham dari dia.” (HR Tirmidzi).
Orang yang paham ialah orang yang mengetahui rahasia syariat Islam serta tujuan dan hikmah-hikmahnya, sehingga dia sanggup mengembalikan cabang-cabang ilmu kepada pokoknya dan mampu menerapkan segala sesuatu di atas hukum asalnya. Sehingga, dengan cara seperti itu, dia mendapatkan kebaikan yang banyak.
Berkata Ibnu Khair tentang pemahaman hadits di atas, “Dalam hadits ini ada keterangan bahwa ilmu itu adalah kemampuan mengambil dalil dan mengetahui makna sebuah ucapan dengan cara memahaminya, yang mana hal ini mengandung kewajiban memahami dan mendalami makna hadits serta mengeluarkan ilmunya yang masih tersimpan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid beliau, Imam Ibnul Qayyim, banyak mempunyai kepahaman dalam h al ini. Barang siapa yang membaca kitab-kitab kedua imam tersebut, maka dia bisa mengetahui cara yang benar dalam memahami ilmu syar’i.
Di antara keunikan perkataan Imam Ibnu Taimiyyah adalah apa yang beliau katakan saat berada di majelis tafaqquh (pendalaman ilmu), beliau berkata, “Amma ba’du, dulu kami berada di majelis tafaqquh fiddin, lalu kami menganalisa dalil-dalil syar’i secara penggambaran masalah, penetapan masalah, pendasaran hukum dan perinciannya, maka ada sebuah pembicaraan mengenai …, lalu saya berkata, ‘Laa haula wala quwwata illa billaah, hal ini didasari atas satu pokok pembahasan dan dua pasal’.”
Ketahuilah–semoga Allah memberi petunjuk kepadamu–bahwasannya memahami dan mendalami ilmu syar’i itu harus didahului dengan berpikir (tafakkur), karena sesungguhnya Allah Ta’ala menyeru kepada hamba-Nya bukan hanya di situ ayat agar bergerak dan memutar pandangan yang tajam untuk berpikir tentang langit dan bumi, juga memusatkan perhatiannya untuk melihat dirinya sendiri dan juga keadaan alam sekitarnya, untuk membuka kekuatan akal pikiran, sehingga bisa memperkuat imam dan memperdalam hukum serta memperoleh kemenangan ilmiah, sebagaimana firman Allah, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Al-Baqarah: 219). Juga, firman-Nya, “Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya).” (Al-An’am: 50).
Dari sini diketahui bahwasannya memahami (tafaqquh) ilmu syar’i itu lebih jauh jangkauannya daripada sekadar berpikir, karena memahami ilmu syar’i itu merupakan hasil dari berpikir, kalau tidak maka sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun.” (An-Nisaa’: 78).
Namun, memahami ilmu syar’i ini dibatasi dengan dalil dan juga harus dihalangi dari mengikuti hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120).
Pernah Imam Syafi’i bertamu kepada Imam Ahmad, dan beliau adalah murid Imam Syafi’i. Imam Ahmad banyak memuji Imam Syafi’i di hadapan keluarganya. Lalu, tatkala disuguhkan makan malam, Imam Syafi’i menghabiskannya dan mengembalikan piring dalam keadaan kosong. Maka, keluarga Imam Ahmad pun heran dengan Imam Syafi’i. Bagaimana beliau menghabiskan seluruh makanan, padahal menurut Sunnah Rasulullah, seseorang seyogyanya hanya makan sedikit saja, sebagaimana sabda Rasulullah, “Cukuplah bagi seorang anak Adam makan beberapa suapan yang cukup untuk menegakkan tulang rusuknya, dan jika harus makan lebih, maka sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk menuman, dan sepertiga untuk napasnya.” (HR Tirmidzi). Namun, Imam Syafi’i memakan semuanya. Kemudian Imam Ahmad masuk menemui keluarganya dan Imam Syafi’i tidur. Ketika malam, beliau tidak mengambil air wudhu, dan tatkala adzan fajar beliau keluar untuk shalat namun tidak mengambil air wudhu. Tatkala pagi hari keluarga Imam Ahmad berkata kepada beliau: “Bagaimana engkau sangat memuji Imam Syafi’i, padahal dia memakan habis seluruh makanan, lalu tidur kemudian pada pagi hari tidak mengambil air wudhu, bagaimana ini?” Maka, Imam Ahmad berkata, “Saya akan memberitahukan kepada kalian.” Maka, beliau bertanya kepada Imam Syafi’i perihal tersebut, sehingga beliau menjawab: “Adapun mengenai masalah makanan, saya tidak menemukan makanan yang lebih halal daripada makanan Imam Ahmad, maka saya ingin memenuhi perutku dengannya, adapun masalah saya tidak shalat tahajud karena memikirkan ilmu lebih baik daripada shalat tahajud, saya semalam sedang berpikir dan menyimpulkan hukum dari perkataan Rasulullah: ‘Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh si burung kecil (An-Nughair)!’[*] seratus atau seribu faidah (hukum). Adapun mengenai saya tidak meminta air wudhu untuk shalat shubuh, untuk apa saya minta air padahal saya masih dalam keadaan punya wudhu’.” Kemudian, Imam Ahmad menyebutkan jawaban itu kepada keluarganya, sehingga mereka berkata: “Sekarang baru terjawab teka-tekinya!” (*: HR Bukhari dan Muslim).
Wahai para pelajar, hiasilah dirimu dengan selalu berpikir dan menganalisis, juga hiasilah dirimu dengan memahami dan mendalami ilmu syar’i, semoga engkau mampu meneruskan jenjang dari hanya sebagai orang yang sekadar faqih (memahami hukum-hukum agama) kepada jenjang orang yang faqihun nafsi (menyimpulkan hukum-hukum agama sendiri), sebagaimana yang diistilahkan oleh para fuqaha, yaitu orang yang mampu menghubungkan hukum syar’i dengan sumber aslinya. Atau, dengan istilah lain jenjang orang yang faqihul badan sebagaimana dalam istilah ahli hadits.
Oleh karena itu, maka arahkanlah pandanganmu kepada dalil-dalil yang ada untuk menyimpulkan cabang-cabang hukum dari pokoknya, dengan benar-benar memperhatikan seluruh kaidah yang ada, serta perhatikan juga kaidah syariat Islam yang bersifat umum, seperti kaidah maslahat, menghilangkan segala mudharat dan kesulitan, mendatangkan kemudahan, menutup pintu-pintu hilah (cari-cari alasan) serta menutup segala jalan menuju perbuatan yang haram.
Demikianlah engkau akan mendapatkan jalan petunjukmu selama-lamanya, karena ini akan menolongmu pada saat-saat sulit, juga sebagaimana yang telah saya katakan bahwasannya wajib bagimu berupaya untuk memahami nash-nash syar’i dan memandang dengan jeli hal-hal yang melatarbelakangi hukum-hukum tersebut, juga merenungi tujuan syariat ini. Kalau engkau tidak memahami masalah ini, maka waktu belajarmu itu akan sia-sia belaka, dan engkau berhak tetap dinamakan orang yang jahil. Kemampuan inilah yang sebenarnya bisa dijadikan ukuran yang jeli tentang sampai di mana engkau mampu menguasai ilmu syar’i.
Seorang ahli fiqih (faqih) adalah orang yang apabila menghadapi permasalahan yang muncul yang tidak terdapat nashnya, maka dia bisa menetapkan hukumnya. Ahli balaghah (sastra Arab) yang sebenarnya bukanlah sekadar orang yang dapat menyebutkan macam dan perincian bab-babnya, namun dia adalah orang yang kepiawaian balaghahnya mengalir saat membaca kitabullah atau lainnya, mampu mengeluarkan simpanan ilmunya ini dan berbagai segi baik saat dia menulis atau berceramah. Demikian juga hal ini berlaku dalam semua disiplin ilmu.
Oleh karena itu, seharunya setiap orang bisa menerapkan ilmunya pada kehidupan nyata, dengan pengertian kalau ada sebuah permasalahan baru, maka dia bisa mengetahui hukumnya dengan melihat pada dalilnya. Juga setiap kali dia mengetahui sesuatu bisa menerapkannya dalam ucapan dan perbuatannya sehari-hari.
Bersandar kepada Allah dalam Menuntut Ilmu
Jangan gusar apabila engkau belum bisa menguasai salah satu cabang ilmu. Karena ada sebagian cabang ilmu yang tidak bisa dipahami oleh sebagian ulama besar, di antara mereka ada yang berterus terang mengatakannya sebagaimana diketahui dalam biografinya. Mereka itu adalah Imam Al-Ashma’i tidak mengerti ilmu ‘arudh (ilmu tentang syair Arab), Ar-Ruhawi–seorang ahli hadits–tidak menguasai ilmu khat, Imam Ibnu Shalah tidak bisa menguasai ilmu manthiq, Abu Muslim an-Nahwi tiak ilmu sharaf, Imam Asy-Suyuthi tidak menguasai ilmu matematika, demikian juga Imam Abu Ubaidah, Muhammad bin ‘Abdul Baqi al-Anshari, Abul Hasan al-Qathi’i, Abu Zakaria Yahya bin Ziyad al-Farra’, dan Abu Hamid al-Ghazali, kelima irang ini tidak menguasai ilmu nahwu.
Wahai pelajar, lipat gandakan semangat, pusatkanlah perhatianmu kepada Allah dalam berdoa, berserah diri, dan pasrah di hadapan Allah. Dulu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kalau kesulitan memahami tafsir salah satu ayat, beliau sering berdoa: “Ya Allah, wahai Dzat yang mengajarkan Adam dan Ibrahim, ajarkanlah kepadaku. Wahai Dzat yang memberikan kepahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku,”[*] sehingga beliau dapat memahaminya. (*: Lihat Majmuu’al Fatawa [IV/38]).
Amanah Ilmiah
Wajib bagi seorang pelajar untuk benar-benar menjaga amanah ilmiah, baik saat belajar, menuntut ilmu, bekerja, ataupun saat menyampaikan ilmu. Karena, keberhasilan sebuah umat tergantung pada kebaikan amalnya, dan kebaikan amalnya tergantung pada kebenaran ilmunya, dan kebenaran ilmunya adalah manakala ulamanya bersikap amanah dalam hal yang mereka lihat dan paparkan. Barang siapa yang berbicara pada salah satu bidang ilmu tanpa adanya rasa amanah, maka dia telah mengotori ilmu itu sendiri dengan nanah, dan menghalangi keberhasilan umat ini dengan batu sandungan.
Sesuatu yang sangat penting bagi seorang pelajar adalah mempunyai rasa amanah ilmiah, dia harus amanah dalam menukil dan menyifati (memaparkan) sesuatu. Tidak menambahi dan tidak mengurangi, karena kebanyakan manusia tidak terlalu perhatian pada masalah amanah. Ada yang kalau menyifati sesuatu, dia menyampaikan sesuatu dan membuang yang tidak disenangi, juga saat menukil ucapan ulama, dia menukil yang dia senangi dan membuang lainnya. Sebagaimana ucapan penyair:
“Rabb-mu tidak mengatakan pada kelompok pertama bahwa mereka itu mabuk.
Namun Rabb-mu berkata: ‘Celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat’.”
Dia membuang terusan ayat tersebut:
“(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Maa’uun: 5).
Ini merupakan sebuah batu sandungan dan penipuan dalam dunia ilmiah, karena kewajiban seseorang itu kalau menukil dan menyifati (memaparkan) haruslah dengan penuh amanah. Dan bukankah tidak akan membahayakanmu kalau nantinya dalil tersebut berbeda dengan pendapatmu, karena wajib bagimu untuk mengikuti dalil yang ada. Lalu engkau menyampaikannya kepada umat, sehingga umat ini bisa mengetahui perkara yang sebenarnya.
Tidak adanya rasa amanah bisa menjadikan pelakunya menjadi fasik, yang tidak boleh diterima kabar dan beritanya, karena dia (dianggap) seorang penipu.
Setiap kelompok penuntut ilmu tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang (mereka) dalam menuntut ilmu bukan bertujuan untuk berakhlak yang mulia, juga tidak untuk memberi manfaat kepada orang lain dengan ilmu yang mereka pelajari. Orang-orang yang semisal mereka ini tidak akan mempunyai sifat amanah, jadi mereka tidak pernah merasa berdosa untuk meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak mereka dengar, ataupun juga menceritakan hal yang tidak mereka ketahui. Inilah yang menjadikan para ulama besar mengkritisi para perawi hadits.
Hendaklah dibedakan antara orang yang berlebih-lebihan dalam perkataannya dengan orang yang hanya mengatakan apa yang diketahuinya, sehingga para penuntut ilmu bisa mengetahui kadar ilmiah apa yang mereka baca, tidak lagi samar bagi mereka, juga bisa diketahui kepastian apakah dia jujur atau dusta, atau kuat mana antara jujur dan dustanya, ataukah mungkin memiliki kadar yang sama.
Kejujuran
Tutur kata yang jujur merupakan tanda kewibawaan, kemuliaan jiwa, kebersihan hati, ketinggian cita-cita, kuatnya akal, kecintaan antar-sesama, senangnya kebersamaan, dan penjagaan terhadap din. Oleh karena inilah kejujuran menjadi fardhu ‘ain (kewajiban bagi setiap individu), maka alangkah meruginya orang yang tidak memilikinya, dan barang siapa yang tidak jujur, maka dia berarti telah mengotori jiwa dan ilmunya dengan penyakit.
Kejujuran di sini hampir mirip dengan masalah amanah ilmiah. Karena, amanah ilmiah hanya akan terwujud dengan adanya kejujuran, sedangkan kejujuran sebagaimana yang dikatakan Syaikh di sini adalah sebagai tanda kewibawaan, kemuliaan jia, dan juga kebersihan hati. Maka, jika dengan kedustaan saja bisa berhasil, maka tentunya dengan kejujuran akan lebih menjamin keberhasilan, dan kebohongan itu tidak akan berlangsung lama, karena dengan cepat akan terungkaplah kebohongannya.
Kejujuran pasti akan berakibat baik, maka dari itu milikilah sikap jujur itu. Dan jika engkau takut bahwa kejujuran itu akan bisa membahayakanmu, maka sabarlah. Karena, sesungguhnya kejujuran itu menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan ke Surga, dan jika seseorang selalu berbuat jujur, maka Allah akan mencatat di sisi-Nya bahwa dia adalah seorang yang jujur.
Maka, janganlah engkau mengatakan: “Sesungguhnya Allah mengharamkan ini,” padahal Allah tidak mengharmkannya; “Allah mewajibkan itu,” padahal tidak. Dan jangan pula mengatakan: “Si Fulan yang seorang alim berkata begini,” padahal tidak. Jauhilah olehmu berkata semacam itu.
Sebagian ulama mengecualikan bahwa ada dusta yang diperbolehkan, yaitu dusta untuk tauriyah[*]. Akan tetapi, tidak perlu ada pengecualian dalam hal ini, karena tauriyah sebenarnya adalah kejujuran, kalau sudah kita lihat dari sisi pembicaraannya. Sebagai contoh adalah perkataan Nabi Ibrahim a.s. kepada seorang raja yang zalim: “Ini adalah saudariku,” maksud beliau adalah istrinya, Sarah. (*: Tauriyah adalah mengucapkan sebuah lafaz yang mengandung dua arti, yang mendengar lafaz itu menyangka salah satu maknanya, padahal yang diinginkan oleh pembicara adalah makna yang lain, pen.).
Perkataan ini tidak terhitung sebagai kebohongan, meskipun Nabi Ibrahim a.s. berudzur saat dimintai syafa’at dengan alasan karena dia pernah berdusta sebanyak tiga kali, akan tetapi dia berdusta untuk menghadapi orang yang zalim dan melampaui batas, padahal sebenarnya beliau saat itu telah berkata jujur.
Sebagian ulama mengecualikan juga dusta yang dibolehkan sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa tidak boleh dusta kecuali dalam tiga hal, yaitu dalam peperangan, untuk mendamaikan manusia, dan perkataan seorang wanita terhadap suaminya atau suami terhadap istrinya. (Lihat Syarh an-Nawawi ‘ala Shahihi Muslim [XII/45], bab “Bolehnya Dusta dalam Peperangan”).
Akan tetapi, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hal ini masuk pada bab tauriyah, bukan termasuk dalam dusta yang sebenarnya, sebab peperangan adalah tipu daya, yakni dengan cara memperlihatkan kepada musuh bahwa engkau akan menuju sebuah arah padahal yang engkau tuju adalah arah yang lain, atau trik-trik lainnya.
Demikian juga dalam masalah mendamaikan antara sesama manusia, janganlah engkau berdusta, tetapi katakanlah: “Seandainya ada yang bertanya kepadamu: ‘Apakah dia menggunjingku?’ Maka jawablah bahwa dia tidak pernah menggunjingmu sedikit pun’.”
Begitu juga masalah kebolehan dusta bagi seorang wanita terhadap suaminya. Yang dimaksud adalah secara tauriyah, bukan benar-benar berdusta. Pendapat ini tidaklah jauh dari kebenaran, karena kebohongan akan mengantarkan pada kemaksiatan, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. dan tidak akan mengantarkan pada kebaikan.
Imam Al-Auza’i berkata, “Pelajarilah kejujuran sebelum engkau mempelajari ilmu.”
Waqi’ berkata, “Ilmu ini tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang jujur.”
Maka dari itu, pelajarilah kejujuran terlebih dahulu sebelum engkau mempelajari ilmu. Kejujuran adalah mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan dan keyakinan yang ada, kejujuran ini hanya ada satu cara, sedangkan kedustaan banyak cara dan ragamnya, namun bisa disimpulkan menjadi tiga hal, yaitu (sebagai berikut).
Dusta Seorang Penjilat : Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan kenyataan dan juga keyakinan yang sebenarnya. Contohnya orang yang mencari muka terhadap orang yang dia ketahui sebagai orang fasik dan ahli bid’ah, namun dia katakan sebagai orang yang istiqamah untuk mencari muka (perhatian) darinya.
Dusta Orang Munafik : Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan keyakinan, namun sama dengan kenyataan, sebagaimana orang munafik, mereka mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus Sunnah.
Dusta Orang Dungu : Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan kenyataan namun serasi dengan keyakinan, seperti orang yang percaya akan keshalehan orang sufi yang mubtadi’ (ahli bid’ah), lalu dia menyebutnya sebagai wali.
Perisai bagi Seorang Pelajar
Perisai seorang ulama adalah ucapan: “Saya tidak tahu,” dan tirainya akan dirobek oleh kesombongan tidak mau mengucapkannya, juga ucapannya: “Katanya.” Berdasarkan prinsip ini, maka kalau setengah ilmu adalah ucapan “saya tidak tahu,” maka setengah kebodohan adalah ucapan “katanya atau saya kira.”
Ini benar dan ini juga sebagai pelengkap penjelasan sebelumnya, bahwa seseorang itu wajib berkata “saya tidak tahu,” apabila memang tidak tahu. Ini tidak akan membahayakannya, bahkan akan menambah kepercayaan orang lain kepadanya.
Adapun ucapan Syaikh: “Setengah kebodohan adalah ucapan saya kira atau katanya,” ini juga benar. Karena, sebagian orang awam banyak yang ditanya hukum ini halal atau haram. Dia menjawab, “Saya kira ini haram.” Bolehkah kita percaya pada ucapan orang awam? Tidak boleh, oleh karena itu betapa banyak manusia yang diberi fatwa oleh orang-orang awam dengan fatwa yang salah, terutama sekali saat musim haji.
Menjaga Modal Utamanya, yaitu Waktu dan Umurmu
Pergunakanlah selalu waktumu untuk belajar, selalulah bekerja, jangan menganggur dan malas, beradalah di tempat kerja jangan berada di tempat begadang malam. Jagalah waktumu dengan selalu bekerja keras, belajar, berkumpul dengan para guru, menyibukkan diri dengan membaca maupun mengajar, merenung, menelaah, menghafal, dan meneliti. Terutama pada saat masih muda yang ketika itu engkau masih sehat. Manfaatkanlah waktu yang sangat berharga ini agar engkau mampu mendapatkan derajat ilmu yang tinggi, karena waktu muda adalah waktu yang bagus untuk kosentrasi hati dan pikiran, karena masih sedikit untuk memenuhi kehidupan dan kepemimpinan, juga saat beban dan tanggungan masih ringan.
Oleh karena itu, Umar bin Khaththab berkata, “Belajarlah kalian sebelum menjadi pemimpin.” Karena, seseorang kalau sudah menjadi pemimpin akan banyak urusannya, lalu pikirannya pun bercabang, sehingga konsentrasinya pun buyar. Saat dia ingin mengerjakan sesuatu tiba-tiba ada keperluan lain yang jauh lebih mendesak dari yang akan dia kerjakan sebelumnya, maka dia pun harus mengurungkan niatnya. Oleh karena itu, sungguh-sungguhlah engkau belajar mumpung masih memiliki waktu longgar. Jadikanlah lembaran-lembaran kitab itu menjadi rutinitas pandangan matamu. Ketahuilah bahwasannya kalau engkau telah terbiasa dengan sungguh-sungguh dalam belajar, maka ini akan menjadi kebiasaanmu.
Jadikanlah penelitianmu itu terarah dengan baik, jangan asal comot dari sana-sini. Jadikanlah penelitianmu secara runut dari yang sangat penting ke yang penting terlebih dahulu, sehingga engkau mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan setiap permasalahan dari kaidahnya, serta mampu mengeluarkan cabang dari pokoknya.
Jangan sampai engkau suka menunda-nunda pekerjaan, jangan katakan, “Nanti kalau sudah selesai dari pekerjaan ini … nanti kalau sudah pensiun … atau lainnya.” Namun, bergegaslah sebelum engkau terkena untaian bait syair Abu Thahhan al-Qaini:
“Tubuhku membungkuk oleh karena sudah tua,
sehingga sekarang saya seakan-akan orang merunduk untuk mendekati binatang buruan.
Saya berjalan sangat lambat,
sehingga orang lain menyangka akan terikat padahal tidak.”
Berkata Usamah bin Munqidz:
“Pada umur 80 tubuhku sudah dikuasai oleh kelemahan.
Dan lemahnya kaki serta tanganku sangat menyusahkanku.
Kalau saya menulis, maka tulisanku seperti tulisan orang yang gemetar.
Saya heran dengan lemahnya tanganku, padahal hanya untuk memegang pena.
Padahal dahulu mampu menancapkan tombak di leher singa.
Katakanlah kepada orang yang ingin berumur panjang.
Ini adalah kesudahan dari orang yang berumur panjang.”
Namun, jika engkau bersegera belajar, maka itu adalah bukti bahwa engkau benar-benar mempunyai cita-cita yang besar dalam menuntut ilmu.
Istirahat
Luangkanlah sedikit waktumu untuk istirahat di taman ilmu dengan menelaah kitab-kitab tsaqafah umum, karena hati itu harus diistirahatkan sewaktu-waktu. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib bahwasannya beliau berkata, “Rilekkanlah hatimu dengan mempelajari keunikan ilmu dan hikmah, karena hati itu bila merasa bosan (jenuh) sebagaimana badan.” (Lihat Kasyful Khafa’ [I/524]).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hikmah dilarangnya shalat sunnah di semua waktu, “Larangan menjalankan shalat sunnah di sebagian waktu terdapat banyak manfaatnya, yaitu untuk mengistirahatkan jiwa beberapa saat dari lelahnya ibadah, sebagaimana bisa juga istirahat dengan tidur atau lainnya, oleh karena itu Mu’adz bin Jabal berkata, ‘Sesungguhnya saya mengharapkan pahala dengan tidurku sebagaimana saya juga berharap pahala saat aku terjaga’.” (Majmu’ Fatawa [XXIII/187]).
Syaikhul Islam juga berkata, “Bahkan termasuk hikmah larangan menjalankan shalat sunnah di sebagian waktu adalah untuk mengistirahatkan jiwa saat waktu terlarang agar jiwa bisa semangat lagi saat menjalankan shalat, karena jiwa itu akan bersemangat untuk menjalankan ibadah yang tadinya dilarang, juga akan rajin untuk menjalankan shalat setelah beristirahat. Wallaahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa [XXIII/217]).
Dari sini harus kita ketahui bahwasannya merilekkan hati dan memberinya sedikit waktu untuk istirahat agar nantinya bisa semangat lagi adalah sesuatu yang disyariatkan seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya jiwamu punya hak atasmu begitu juga Rabb-mu mempunyai hak atasmu serta keluarga dan istrimu pun juga mempunyai hak atsmu, maka berikanlah hak mereka masing-masing.” (HR Bukhari). Sebenarnya hadits inilah timbangan utama yang bisa membuat hati menjadi tenang, bukan apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali, dan lainnya. Seandainya Syaikh berdalil dengan hadits ini, pasti akan semakin jelas permasalahannya.
Kami temukan hal semacam ini dalam kitab-kitab adab belajar dan juga kitab sejarah. Sebagai sebuah contoh kitab Adab al-Mu’allimin oleh Imam As-Suhnun (hlm. 104), Ar-Risalah al-Mufashshalah oleh Al-Qabishy (hlm. 135-137), Asy-Syaqa’iq an-Nu’maniyyah (hlm. 120), Abjadul ‘Ulum (I/195-196), Alaisa ash-Shubbu Biqariib oleh Thahir Ibnu ‘Asyur, Fatawa Rasyid Ridha (1212), Mu’jamul Buldan (III/102), dan Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/318-320, 329).
Pembetulan dan Pelurusan Bacaan
Bersungguh-sungguhlah untuk membetulkan bacaanmu kepada seorang guru yang mumpuni agar engkau terbebas dari penyelewengan, kesalahan, dan perubahan kata. Apabila engkau amati biografi para ulama, terutama para pakar ahli hadits, niscaya akan engkau dapatkan jumlah yang tidak sedikit, mereka membaca kitab-kitab besar di banyak majelis dan selama berhari-hari untuk sekadar membetulkan bacaan kepada seorang guru yang mumpuni.
Poin ini sangat penting, yaitu memantapkan ilmu dan meluruskannya agar menancap di hati, karena itulah ilmu yang sebenarnya. Dan itu harus dilakukan dengan seorang guru (syaikh) yang mumpuni, adapun guru karbitan (pura-pura jadi syaikh), maka hindarilah dia, karena dia akan banyak membahayakanmu.
Pemantapan ilmu itu ada cara tersendiri dalam setiap disiplin ilmunya. Kadang-kadang engkau dapati ada seorang guru yang bisa menguasai ilmu fara’idh namun tidak menguasai hukum seputar shalat, juga ada orang yang menguasai ilmu bahasa namun tidak menguasai ilmu syar’i. Maka, mantapkanlah ilmumu dari seorang alim yang menguasainya selagi hal itu tidak membahayakanmu, misalnya kalau engkau mendapatkan seseorang yang sangat menguasai ilmu bahasa Arab namun dia menyeleweng dalam aqidah dan akhlaknya, maka orang semacam ini tidak selayaknya kita berguru kepadanya, karena hal itu akan membuat banyak orang tertipu, mereka akan menyangka bahwasannya dia itu berada di atas kebenaran. Kita harus belajar kepada orang lain yang aqidahnya lurus dan akhlaknya baik, meskipun sebenarnya orang tadilah yang paling menguasai ilmu tersebut.
Al-Hafidz Ibnu Hajar membaca Shahih al-Bukhari dalam sepuluh majelis, dan setiap majelis selama sepuluh jam. Beliau juga membaca Shahih Muslim dalam empat majelis sekitar dua hari hari lebih sedikit.
Kalau begitu berapa jamkah itu semua? Seratus jam! Allaahul musta’an (hanya kepada Allah kami memohon pertolongan). Namun, itu hanya membaca saja tanpa keterangan dan pemahaman.
Pekerjaan ini beliau slesaikan pada hari Arafah tepatnya pada hari Jumat tahun 813 H. Beliau juga membaca Sunan Abu Dawud dalam empat majelis dan Mu’jam ath-Thabrani ash-Shaghir hanya dalam satu majelis antara shalat dhuhur dan ashar. Begitu juga guru beliau, Imam Al-Fairuz Abadi, saat berada di Damaskus beliau membaca Shahih Muslim dengan bacaan cermat (tepat) pada gurunya, Ibnu Jahbal, selama tiga hari. Ada banyak kisah aneh, lagi menakjubkan, tentang hal semacam ini dari Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Mu’taman as-Saji, Ibnul Abar, dan selain mereka yang akan sangat panjang kalau disebutkan satu per satu, cukup lihat saja di dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ oleh Imam Adz-Dzahabi (XVIII/277-279, XIX/310, XXI/253), juga Thabaqaat asy-Syaafi’iyyah karya Imam As-Subki (IV/30), Al-Jawaahir wad-Durar oleh Imam As-Sakhawi (I/103), Fat-hul Mughiits (II/46), Sadzaraatudz Dzahab (VIII/121, 206), Hulaashatul Atsar (I/72-73), Fihris al-Fahaaris oleh Al-Kattani dan Taajul Aruus (I/45-46). Maka, jangan sampai engkau melupakan bagianmu dalam hal itu.
Menelaah Kitab-Kitab Besar
Menelaah kitab-kitab yang besar adalah perkara yang sangat penting agar memperoleh banyak ilmu pengetahuan, meluaskan pemahaman, mengeluarkan hal-hal tersembunyi dari lautan faedah ilmiah dan istimewa, berpengalaman dalam mencari titik-titik pembahasan dan masalah-masalah ilmiah serta bisa mengetahui cara para ulama dalam karya ilmiah dan istilah mereka. Dahulu para ulama selalu menulis pada akhir bacaan mereka kalimat: “Sampai di sini,” agar tidak ada yang terlewatkan saat ingin mengulangi kembali, terutama kalau sudah lama ditinggalkan.
Pembahasan ini masih perlu dirinci. Karena, menelaah kitab-kitab besar bisa bermanfaat bagi seorang pelajar namun bisa juga membahayakannya. Kalau dia seorang pelajar yang masih pemula, maka menelaah kitab-kitab besar semacam itu akan membawa kehancuran pada dirinya, gambarannya semacam orang yang tidak pandai berenang lalu terjun ke dalam air. Namun, kalau dia orang yang sudah berilmu, namun masih ingin menambah ilmu pengetahuannya lagi, maka menelaah kitab-kitab besar ini adalah sesuatu yang baik.
Adapun menulis lafaz “Sampai di sini”, ini adalah sesuatu yang baik, yang mengandung dua faedah: (1) agar engkau tidak lupa aya yang sudah engkau baca, (2) agar orang lain mengetahui bahwa engkau sudah menguasainya, maka dia akan semakin percaya kepadamu.
Bertanya dengan Baik
Beradablah yang baik ketika bertanya, mendengarkan, memahami jawaban dengan baik, dan setelah mendapatkan jawaban janganlah engkau mengatakan, “Ustadz Fulan berkata begini dan begitu,” karena ini adalah adab yang hina dan mengadu domba antar-para ulama, jauhilah hal ini. Dan jika memang hal itu harus engkau lakukan, maka jelaskanlah dalam bentuk pertanyaan, katakanlah, “Apa pendapat Anda tentang fatwa semacam ini,” dan jangan engkau sebutkan namanya.
Berkata Imam Ibnul Qayyim, “Apabila engkau belajar kepada seorang ulama, maka bertanyalah dengan tujuan agar engkau mengetahui jawabannya, bukan untuk membantahnya.” (Lihat Miftah Darus Sa’adah [hlm. 168]).
Beliau juga berkata, “Ilmu itu mempunyai enam tingkatan: (1) bertanya dengan baik, (2) mendengarkan dengan baik, (3) memahami dengan baik, (4) menghafal, (5) mengajarkan, (6) mengamalkan dan menjaga adab-adabnya. Dan, inilah buah dari sebuah ilmu. Kemudian, beliau menerangkan satu per satu dengan sebuah penjelasan yang penting.
Pertama, bertanya dengan baik. Ini kalau memang butuh bertanya, kalau tidak butuh, jangan bertanya. Namun, kalau Anda mau bertanya dengan maksud agar orang lain mengetahui meskipun Anda sendiri sudah mengetahui, maka boleh, bahkan orang yang bertanya semacam ini sama saja dengan mengajarkan ilmu kepada mereka. Karena, Rasulullah saw. tatkala didatangi oleh Jibril a.s., lalu beliau bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan, serta tanda-tanda hari kiamat, maka Rasulullah saw. bersabda, “Dia itu Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan ajaran agama kalian.” (HR Muslim). Namun, jika dia bertanya agar dipuji oleh orang lain, ini adalah sebuah sikap yang salah. Juga merupakan sebuah kesalahan kalau ada yang mengatakan, “Saya tidak ingin bertanya karena malu.”
Kedua, mendengarkan dengan baik (cukup jelas). Ketiga, memahami dengan baik (cukup jelas).
Keempat, menghafal. Mengahafal ini ada dua macam.
1. Sesuatu yang secara tabiat diberikan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kadang ada orang yang menghadapi sebuah masalah, lalu mempelajarinya dan menghafalnya, dan tidak pernah melupakannya.
2. Menghafal dengan usaha, maksudnya seseorang melatih diri untuk menghafal dan mengingat-ingat apa yang telah dihafalkannya. Kalau orang ini sering mengulang-ulang, maka akan mudah baginya menghafalkannya.
Kelima, mengajarkan. Dalam pandanganku (editor isi: Abu ‘Azzam, red) bahwa ini adalah tingkatan yang keenam, dan yang kelima adalah mengamalkan ilmunya. Dia harus mengamalkan ilmunya untuk memperbaiki dirinya sendiri sebelum memperbaiki orang lain, lalu baru mengajarkan kepada orang lain. Rasulullah saw. bersabda, “Mulailah dari dirimu sendiri kemudian keluargamu.” Oleh karena itu, amalkanlah dahulu sebelum mengerjakannya. Namun, bisa saja engkau mengatakan bahwa mengajarkannya termasuk mengamalkan ilmu, karena di antara cara mengamalkan ilmu adalah engkau laksanakan apa yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala dengan cara menyebarkan dan mengajarkannya.
Diskusi dengan tanpa Perdebatan
Jauhilah perdebatan karena akan menjadi bencana. Adapun berdiskusi dalam kebenaran adalah kenikmatan, sebab akan bisa menampakkan mana yang benar dan mana yang bathil, mana yang kuat dan tidak. Diskusi ini didasari atas saling manasihati, kasih sayang, dan keinginan menyebarkan ilmu. Adapun perdebatan hanyalah ingin menang, riya, mencari kesalahan, sombong, yang penting menang, permusuhan, dan membodohi orang yang memang bodoh. Maka, jauhilah perdebatan ini, juga jauhilah orang yang suka berdebat, niscaya engkau akan selamat dari dosa dan perbuatan haram.
Saudaraku …, hendaknya engkau mencari kebenaran, baik saat berdebat dengan orang lain ataupun saat merenung sendirian, kalau kebenaran itu sudah nampak, maka segeralah mengatakan saya dengar dan saya akan menaatinya. Oleh karena itu, para sahabat menerima hukuman Rasulullah saw. tanpa membantah sedikit pun, juga mereka tidaklah mengatakan bagaimana pendapatmu tentang hal ini dan itu. Ada seorang yang berdebat dengan Abdullah bin Umar, lalu dia berkata, bagaimana pendapatmu? Maka, beliau menjawab, “Jadikanlah ucapanmu (bagaimana pendapatmu) di negeri Yaman.” Karena, orang tersebut memang berasal dari Yaman.
Tatkala orang-orang Irak bertanya kepada beliau tentang darah nyamuk, apakah boleh membunuh nyamuk ataukah tidak, maka beliau menjawab, “Subhanallah, orang-orang Irak ini membunuh cucu Rasulullah, lalu mereka datang untuk bertanya tentang darah nyamuk?” Tidak diragukan lagi bahwa orang semacam ini hanyalah ingin berdebat saja.
Mengulangi Pelajaran
Bergembiralah dengan mengulangi pelajaran dan mendiskusikannya bersama orang-orang yang cerdas, karena hal ini terkadang bisa lebih baik daripada menelaah ilmu sendiri. Juga, bisa mengasah otak dan membuat kuatnya ingatan, dengan tetap bersikap sportif, lembut, dan menjauhi kecurangan, tidak berbuat zalim, kacau, dan serampangan. Namun, berhati-hatilah karena mengulang pelajaran ini akan mengungkap cela orang yang tidak serius, juga kalau mengulangi pelajaran bersama orang yang rendah ilmunya dan otaknya tumpul bisa menjadi sebuah penyakit. Adapun kalau engkau mengulangi pelajaran dengan sendirian, maka memang itu harus engkau lakukan, dalam sebuah ungkapan, “Menghidupkan ilmu itu adalah dengan cara mengulang-ulangnya.”
Selalu Hidup Bersama Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Cabang-Cabang Ilmunya
Karena, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah semacam dua sayap burung, maka jangan sampai salah satu sayap itu terputus.
Ini adalah salah satu adab belajar. Seorang pelajar harus selalu besanding dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana seekor burung yang tidak bisa terbang kecuali dengan dua sayap, apabila salah satu dari keduanya patah, maka dia tidak akan bisa terbang lagi. Kalau begitu, janganlah engkau selalu memperhatikan As-Sunnah lalu meremehkan Al-Qur’an. Atau sebaliknya, memperhatikan Al-Qur’an namun meremehkan As-Sunnah.
Ada lagi perkara yang ketiga yang harus diperhatikan, yaitu perkataan para ulama, meskipun ini sudah tercakup dalam ucapan Syaikh: “Dan cabang-cabang ilmu keduanya. Janganlah engkau meremehkan perkataan para ulama, karena mereka lebih dalam ilmunya daripada ilmumu, juga mereka mempunyai kaidah-kaidah syara’ yang tidak engkau ketahui.” Oleh karana itulah para ulama apabila menguatkan salah satu pendapat, mereka selalu mengatkan, “Kalau memang ini sudah ada yang mengatakannya, maka inilah pendapat kami. Namun, kalau belum ada yang mengucapkannya, maka kami pun tidak mengatakannya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah apabila berpendapat sesuatu yang beliau sendiri belum mengetahui ada yang berpendapat demikian–padahal beliau sangat luas ilmunya–, maka beliau mengatakan, “Saya berpendapat demikian jika ada yang sudah berpendapat demikian.” Jangan mengambil pendapatnya sendiri, lalu berkata, “Saya bisa memahami sendiri Al-Qur’an, tidak perlu melihat pendapat orang lain.” Ini adalah sebuah kesalahan.
Menyempurnakan Ilmu Alat dalam setiap Disiplin Ilmu
Engkau tidak akan pernah menjadi seorang pelajar yang bagus selagi tidak menyempurnakan ilmu alat dalam setiap disiplin ilmu, sampaipun kalau si unta masuk ke lubang jarum. Dalam bidang fiqih harus menguasai ilmu fiqih dengan ushul fiqih. Dalam ilmu hadits antara ilmu riwayah dengan dirayah, dan begitu seterusnya. Kalau tidak demikian, maka jangan menyusahkan diri. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang telah beri al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya ….” (Al-Baqarah: 121).
Dari ayat ini diambil pelajaran bahwa seorang pelajar janganlah meninggalkan sebuah disiplin ilmu sehingga menguasainya dengan baik.
Yang dimaksud dengan tilawah di sini adalah membaca lafaz dan memahami maknanya serta mengamalkannya. Karena, diambil dari kata “talaahu” yang artinya adalah mengikutinya. Orang-orang yang telah diturunkan kepada mereka kitab tidak mungkin dinamakan ahli kitab kecuali kalau mereka membacanya dengan sebenar-benarnya.
Yang dimaksud ilmu riwayah adalah meriwayatkan sanad dan rawi hadits, sedangkan yang dimaksud dirayah adalah memahami maknanya.
Semoga Bermanfaat…
Alhamdulillah
Wassalam

PENYESUAIAN DIRI DAN KESEHATAN MENTAL


Kesehatan mental seseorang sering kali dihubungkan dengan kemampuan penyesuaian dirinya. Kehidupan yang tidak selamanya berjalan lancar dan sesuai keinginan, serta hambatan dan pemenuhan kebutuhan dan pemuasan diri sehingga mengganggu kapasitas penyesuaian diri seseorang. Kondisi demikian menimbulkan tekanan yang harus dihadapi individu yang bersangkutan. Konflik dan frustrasi yang bersumber dari faktor internal dan eksternal menjadi sumber stress (Coleman, 1950).
  1. Adjustment dan Adaptasi
Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto,  adaptasi terkait erat dengan adjustment yang lebih kearah upaya untuk menyepadankan antara kondisi internal dengan eksternal. Prof. Soerjono menyebutkan pengertian adjustment sebagai berikut:
a)      Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
b)      Perubahan dalam suatu sistem sebagai tanggapan terjadinya perubahan lain dalam sistem  yang sama.
c)      Penyesuaian individual terhadap lingkungan sosial.
d)      Penyesuaian individual untuk menyalurkan ketegangan.
e)      Penyesuaian individual terhadap norma-norma yang ada.
Pemahaman tentang adaptasi secara spesifik dapat kita kutip dari pendapat seorang sosiolog, yaitu Prof. Dr. Soerjono Soekanto, yang menyebutkan pengertian adaptasi sebagai berikut:
a)      Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
b)      Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.
c)      Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
d)     Penyeseuaian dari kelompok terhadap lingkungan.
e)      penyesuaian pribadi terhadap lingkungan.
f)       Penyesuaian biologis atau budaya sebagai hasil seleksi alamiah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adaptasi
  1. Frustrasi (tekanan perasaan)
Frustrasi adalah suatu respon dari seseorang yang terjadi apabila adanya hambatan terhadap suatu masalah yang ia alami karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya.
  1. Konflik (pertentangan batin)

  1. Pertentangan antara dua hal yang diingini, yaitu adanya dua hal yang sama-sama diingini, tapi tidak mungkin diambil keduanya. Misalnya seorang gadis yamg dipinang oleh dua orang pemuda yang sama-sama baik. Konflik seperti ini ringan saja, akan hilang kalau orang sudah dapat memilih salah satu diantaranya.
  2. Pertentangan antara dua hal, yang pertama diingini sedang yang kedua tidak diingini. Misalnya seorang ibu yang ingin supaya anaknya ikut piknik dengan teman sekolah anaknya, tapi di lain pihak ia takut kalau anaknya dapat kecelakaan di jalan.
  3. Pertentangan antara dua hal yang tidak diingini, yaitu orang menghadapi situasi yang menimbulkan dua hal yang sama-sama tidak disenangi. Misalnya seorang militer yang sedang bertempur di medan perang. Ia ingin tetap hidup, tetapi takut akan pengadilan militer, jika ia lari dari medan perang.
  4. Kecemasan (anxiety)
Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam dan sebagainya.
Macam-macam kecemasan adalah sebagai berikut:
  1. Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya. Cemas ini lebih dekat kepada rasa takut, karena sumbernya jelas terlihat dalam pikiran. Misalnya ketika ingin menyeberang jalan terlihat mobil berlari kencang seakan-akan hendak menabraknya.
  2. Rasa cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk. Yang paling sederhana ialah cemas yang umum, dimana orang merasa cemas (takut) yang kurang jelas, tidak tertentu dan tidak ada hubungannya dengan apa-apa, serta takut itu mempengaruhi keseluruhan diri pribadi.
  3. Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nuraninya.
  4. Aspek dan Proses Penyesuaian Diri
Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Menurut Fatimah (2006) penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu sebagai berikut:
  1. Penyesuaian pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang untuk menerima diri demi tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyatakan sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.
Pada aspek ini, keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai oleh:
  1. Tidak adanya rasa benci,
  2. Tidak ada keinginan untuk lari dari kenyataan atau tidak percaya pada potensi dirinya.
Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai oleh:
  1. Kegoncangan emosi
  2. Kecemasan
    1. Ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya sebagai akibat adanya jarak pemisah anatara kemampuan individu dan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungannya.
    2. Penyesuaian sosial
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinterakasi dengan orang lain. Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebaya, atau anggota masyarakat luas secara umum.
Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda.
Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda lalu berusaha untuk mematuhinya, sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya.
  1. Penyesuaian Diri Positif dan Negatif
  2. A.    Penyesuaian Diri Positif
Haber dan Runyon (1984), mengusulkan beberapa karakteristik penyesuaian diri yang efektif:
  1. Memiliki Persepsi Yang Akurat Terhadap Realita.
Orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik memiliki persepsi yang relatif objektif dalam memahami realita. Persepsi yang objektif ini adalah bagaimana orang mengenali konsekuensi-konsekuensi tingkah lakunya dan mampu bertindak sesuai dengan konsekuensi tersebut. Sebaliknya orang yang penyesuaian dirinya buruk, dicirikan dengan adanya kesenjangan antara persepsinya dengan realita yang aktual sehingga ini membuatnya kurang bisa melihat akibat dari tingkah lakunya.
  1. Kemampuan untuk Beradaptasi dengan Tekanan atau Stres dan Kecemasan.
Orang yang mampu menyesuaikan diri, tidak selalu menghindari munculnya tekanan dan kecemasan. Kadang mereka justru belajar untuk  mentoleransi tekanan dan kecemasan yang dialami dan mau menunda pemenuhan kepuasan selama itu diperlukan demi mencapai tujuan tertentu yang lebih penting sifatnya.
  1. Mempunyai Gambaran Diri yang Positif tentang Dirinya
Pandangan individu terhadap dirinya dapat menjadi indikator dari kualitas penyesuaian diri yang dimiliki. Pandangan tersebut lebih mengarah pada apakah individu bisa melihat dirinya secara harmonis atau sebaliknya dia melihat adanya berbagai konflik yang berkaitan dengan dirinya. Individu yang banyak melihat pertentangan-pertentangan dalam dirinya, ini bisa menjadi indikasi adanya kekuranganmampuan dalam penyesuain diri (maladjusted).
  1. Kemampuan untuk Mengekspresikan Perasaannya
Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dicirikan memiliki kehidupan emosi yang sehat. Orang tersebut mampu menyadari dan merasakan emosi atau perasaan yang saat itu dialami serta mampu untuk mengekspresikan perasaan dan emosi tersebut dalam spektrum yang luas. Selain itu orang yang memiliki kehidupan emosi yang sehat mampu memberikan reaksi-reaksi emosi yang realistis dan tetap di bawah kontrol sesuai dengan situasi yang dihadapi.
  1. Relasi Interpersonal Baik
Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu mencapai tingkat keintiman yng tepat dalam suatu hubungan sosial. Dia mampu bertingkah laku secara berbeda terhadap orang yang berbeda karena kedekatan relasi interpersonal antar mereka yang berbeda pula. Dia mampu menikmati disukai dan direspek oleh orang lain di satu sisi, tetapi juga mampu memberikan respek dan menyukai orang lain.
  1. B.           Penyesuaian Diri Negatif
Penyesuaian diri yang salah ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah yaitu:
  1. Reaksi bertahan (defence reaction)
Individu berusaha untuk mempertahankan diri, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
a)       Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya.
b)       Represi, yaitu berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan. Misalnya, seorang pemuda berusaha melupakan kegagalan cintanya dengan seorang gadis.
c)       Proyeksi, yaitu melempar sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya, seorang siswa yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci dirinya.
d)       Sour grapes (anggur kecut), yaitu dengan memutarbalikkan kenyataan. Misalnya, seorang siswa yang gagal mengetik, mengatakan bahwa mesin tik-nya rusak, padahal dia sendiri tidak bisa mengetik.
  1. Reaksi menyerang (aggressive reaction)
Reaksi-reaksi menyerang nampak dalam tingkah laku; selalu membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam setiap situasi, mau memiliki segalanya, senang mengganggu orang lain, menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, menunjukkkan sikap permusuhan secara terbuka, menunjukkan sikap menyerang dan merusak, keras kepala dalam perbuatannya, bersikap balas dendam, memperkosa hak orang lain, tindakan yang serampangan, marah secara sadis.
  1. Reaksi melarikan diri (escape reaction)
Reaksi melarikan diri, nampak dalam tingkah laku seperti berfantasi, yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan, banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika, dan regresi yaitu, kembali kepada tingkah laku yang tidak dewasa pada tingkat perkembangan yang lebih awal, misalnya orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil, dan lain-lain.
film pendek tentang “Adjustment dan Adaptasi”
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=q210QZtMz6Q

Sayyid Akhmad Khan dan Muhammad Iqbal; Biografi dan Pemikirannya

I
PENDAHULUAN
  1. A.    Latar belakang
Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham,adat istiadat dan sebagainya agar disesuiakan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi modern.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern merupakan alternative menuju umat Islam yang selama ini diperdebatkan di kalangan ulama Klasik yang kurang setuju dengan ide pembaharuan dalam Islam. Periode Modern (1800 M dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat islam.
Salah satu pengaruh modernitas hasil interaksi dunia Islam dengan dunia Barat adalah munculnya ide komunalisme, yang selanjutnya melahirkan sebuah Negara tersendiri bagi sebuah komunitas-komunitas masyarakat Islam di anak benua India, yang kelak bernama Pakistan.
Jika sebelumnya India mempunyai kaum revivalis seperti Shah Waliyullah, maka pada masa kebangkitan, India memiliki Sayyid Ahmad Khan dengan gerakan Aligarh yang dipimpinnya, yang kemudian ide komunalnya direalisasikan oleh penerusnya yaitu Muhammad Iqbal.
  1. B.        RUMUSAN MASALAH
Rumusana makalah ini berusaha menjawab;
  1. Siapakah Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqba?
  2. Apa saja pemikiran yang ditorehkannya bagi pembaharuan Islam?
  3. C.       TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengenalkan kepada segenap mahasiswa bagaimana peran Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal dan pembaharuan pemikiran Islam.




II
PEMBAHASAN
  1. 1.         Sayyid Ahmad Khan
  2. Riwayat Hidup
Sayyid Ahmad Khan lahir pada 17 Oktober 1817 M di Delhi, India. Menurut salah satu riwayat, ia berasal dari keturunan Husein Cucu Nabi Muhammad melalui Fatimah dan Ali.Oleh karena itu ia bergelar sayyid. Nenek moyangnya yang berasal dari semenanjung Arab hijrah ke Heart, Persia, dan kemudian pindah ke India (Hindustan) akibat tekanan dari penguasa Umayah ketika itu. Ayah Ahmad Khan, al-Muttaqi,adalah ulama yang memilki pengaruh besar di Kerajaan Moghul masa Akbar Syah II (1806-1837), sedangkan kakeknya pernah menjadi komandan militer pada masa pemerintahan Alamgir II(1754-179).
Ia memperoleh pendidikan agama secara tradisional, dan juga mempelajari bahasa Persia dan Arab, Matematika, mekanika,sejarah,dan ilmu-ilmu lain. Pada tahun 1838, Ahmad Khan bekerja pada Serikat India. Ia bekerja sebagai hakim di Fatehpur dan kemudian pindah ke Bignaur. Tetapi pada tahun 1846 ia pulang kembali ke Deihi untuk meneruskan studi (A.Syaukani,2001;70).[1]
Dengan beberapa pembaharuan sebelumnya yang menentang penjajahan, Ahmad Khan lebih bersifat kooperatif dengan kolonial Inggris. Ia berupaya mendamaikan umat Islam dengan penjajahan Inggris agar tidak saling curiga. Terhadap penjajahan Inggris Ahmad Khan berusaha menjelaskan bahwa umat Islam tidak berperan aktif dalam peristiwa 1857 itu. Untuk itu, dalam rangka membela umat Islam. Ahmad Khan kemudian menulis dua buah buku yang berjudul Tarikhi Sarkhasi Baijnaur (1858) yang berisi kronolgis pemberontakan, dan Asbab. Baghawat-i-Hind (Sebab-sebab Revolusi India) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Causes of The Indian Revolt. Ahmad Khan juga menyebarkan pamplet-pamflet yang berisi hal-hal yang menjelaskan sebab-sebab pemberontakan tahun 1857, antara lain: (Nasotion,2001; 159):
  1. Intervensi Inggris dalam masalah keagamaan, seperti pembentukan sekolah-sekolah missi Kristen, penghapusan pendidikan agama di perguruan tinggi dan sebagainya.
  2. Inggris tidak mengikutsertakan orang India,baik Hindu maupun Islam dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, sehingga rakyat tidak paham dengan tujuan dan niat Inggris sebenarnya, dan sebaliknya, Inggris tidak tahu keluhan dan masalah-masalah masyarakat India.
  3. Pemerintah Inggris tidak berusaha untuk mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, hal ini berakibat tidak harmonisnya hubungan Inggris dengan rakyat India.[2]
Pada saat pemberontakan rakyat terhadap Inggris di tahun 1875 ia dianggap berjasa oleh pihak Inggris, karena berusaha mencegah pemberontakan itu, sehingga ia diberi hadiah gelar dengan Sir dan hubungan dengan Inggris menjadi baik, hal itu diusahakannya dengan sebaik-baiknya untuk kemajuan ummat Islam. Tetapi usaha Sayyid Ahmad Khan itu tidak dipahami oleh kebanyakan kaum Muslim.
Menurut pemikiran Sayyid Ahmad Khan kemajuan ummat Islam bkan cara memusuhi Inggris dan bekerja sama dengan Hindu, tetapi harus dekat dengan orang-orang Inggris, karena kemajuan Islam tidak terlepas dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern lebih banyak dihasilkan oleh orang-orang Inggris.[3]
Di tahun 1861 ia dirikan Sekolah Inggris di Muradabad. Di tahun 1876 ia minta berhenti sebagai pegawai pemerintah Inggris dan sampai akhir hayatnya di tahun 1898, ia mementingkan  pendidikan umat Islam India.
Sebelumnya di tahun 1869/70 Sayyid Ahmad Khan telah berkunjung ke Inggris, antara lain untuk mempelajari sistem pendidikan Barat. Sekembalinya dari kunjungan itu ia membentuk panitia peningkatan pendidikan Umat Islam. Salah satu tujuan panitia ialah menyelidiki sebabnya umat Islam India sedikit sekali memasuki sekolah-sekolah pemerintah. Di samping itu dibentuk lagi Panitia dana Pembentukan Perguruan Tinggi Islam. Di tahun 1886 ia bentuk Muhammedan Educational Conference dalam usaha mewujudkan pendidikan nasional dan seragam untuk Islam India. Progam dari lembaga ini ialah menyebarluaskan pendidikan Barat di kalangan Umat Islam, menyelidiki pendidkan agama yang diberikan di sekolah-sekolah Inggris yang didirikan oleh golongan Islam dan menunjang pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah swasta.[4]
Perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, bukan hanya terbatas dalam bidang pendidikan saja, tetapi juga melalui karya tulisnya antara lain dalam Tahzib al Akhlak, telah dimasukkan ide-ide pembaharuannya, dan lewat buku itu golongan terpelajar sangat menaruh perhatian.
Penafsiran dan interpretasi yang diberikannya terhadap ajar-ajaran Islam lebih dapat diterima oleh golongan terpelajar (Islam) dibanding dari hasil penafsiran yang lama atau sebelumnya.
Pemikirannya dalam keagamaan itu antara lain:
  1. Perkawinan menganut asas monogami, pologami bertentangan dengan semangat Islam dan hal ini tidak akan diizinkan kecuali dalam keadaan memaksa.
  2. Islam dengan tegas melarang perbudakan, termasuk perbudakan dari tawanan perang, meskipun syariat memperkenankannya.
  3. Bank Modern, transaksi perdagangan, pinjaman serta perdagangan internasional yang meliputi ekonomi modern, meskipun semua itu mencakup pembayaran bunga, tidkalah dianggap riba, karena hal itu tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an.
  4. Hukum potong tangan yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah bagi pencuri, lemparan batu serta cambukan 100 kali bagi pezina hanya sesuai dengan masyarakat primitive yang kekurangan tempat penjara atau tidak mempunyai penjara.
    1. Jihad itu dilarang kecuali dalam keadaan memaksa untuk mempertahankan diri.[5]
Pada tahun 1874, setelah dua tahun sebelumnya mengundurkan diri dari kepegawaian pemerintahan Inggris, Ahmad Khan mendirikan Muhammadan Anglo-Oriental College (MAOC) di Aligarh (Esposito, 1990:74), Model pendidikan di sini mengacu pada pendidikan di Cambridge Universty, sebuah perguruan tinggi yang pernah dikunjunginya.
Pada perkembangan selanjutnya college ini lebih terkenal dengan nama Aligarh Muslim Society atau Muslim University of Aligarh. Tujuannya adalah untuk mencetak tenaga pendidik yang akan menciptakan generasi baru yang dididik ala Barat maupun Timur sekaligus, berwawasan luas, berperilaku baik,dan memiliki toleransi tinggi. Tahun 1886 Ahmad Khan mendirikan Muhammedan Educational Conference yang bertujaun mewujudkan pendidikan nasional yang seragam untuk umat Islam India.
Ahmad Khan sangat berjasa dalam bidang pendidikan dan pengajaran demi kemajuan uamt Islam India. Namun dalam masalah politik praktis, Ahmad Khan membatasi geraknya. Ia bahkan tidak mau terlibat dalam pertemuan-pertemuan politik atau menggabungkan diri dengan partai politik manapun. Bahkan ketika pada tahun 1835 terbentuk Partai Kongres Nasional India, Ahmad Khan lebih memilih untuk tidak terlibat didalamnya. Ia lebih memilih menjadi real politik loyalis, yaitu sikap loyal (Kepada Inggris) berdasarkan politik sepanjang kenyataan.[6]
  1. Gagasan Pembaharuan Ahmad Khan
Ahmad Khan juga memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah-maslah teologi. Ia dikenal memiliki corak pemikiran rasional ala Muktazilah qadariyah, yang menyakini kekuatan akal dalam menentukan nasib seorang manusia.
Menurut pendapat Sayyid Ahmad Khan, faktor yang menjadikan umat Islam India mengalami kemunduran adalah karena umat Islam tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam Klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah hasil pemikiaran manusia. Oleh karena itu, bagi Sayyid Ahmad Khan akal memilki peran yang sangat signifikasi. Manusia juga memilki kebebasan dalam berbuat dan berkendak sesuai dengan sunnatullah. Gabungan antara kemampauan akal, kebebasan manusia berkendak dan berbuat, juga sunnatullah inilah yang sumber kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ahmad Khan memang penganut ajaran qadariyah (free will and free act) dan menyangkal paham jabariyah atau  fatalism. Karena menurutnya, manusia dianugerahkan Tuhan daya, diantaranya daya berpikir, yang disebut akal, daya fisik untuk melakukan kehendaknya.[7]
Untuk menyebarkan ide-idenya ini, pada tahun 1870 Sayyid Ahmad Khan menerbitkan sebuah majalah yang benama Tahzib al-Akhalq (Penyempurna Akhlak) yang ia tulis dalam bentuk buku dan artikel-artikel, berisi tentang pentingnya perubahan sikap mental. Ia menginginkan sikap mental untuk percaya kepada kekuatan akal, kebebasan manusia dan percaya pada adanya hokum alam.
Adapun pembaharuan yang dilakukan Sayyid Ahmad Khan dalam bidang pendidikan ialah dengan mendirikan sekolah Inggris di Muradab pada tahun 1861. Pada tahun 1876 ia pun berhenti sebagai pegawai pemerintahan Inggris, karena ia mementingkan pendidikan umat Islam India sampai akhir hayatnya. Di tahun 1878,ia mendirikan sekolah Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan cita-citanya untuk memajukan umat Islam India, yang kelak bernama Muslim University of Aligarh. Juga lembaga-lembaga lainnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan dan pengajaran.[8]






  1. 2.      Muhammad Iqbal
  2. Riwayat Hidup
Iqbal lengkapnya Sir Allama Muhammad Iqbal, adalah fenomena legendaris intelektualisme dunia Islam di abad ke -20. Dialah tokoh bsar yang menggabungkan potensi mistisme, budaya dan pemikiran dalam dirinya. Bahkan tokoh sufi dan Islamolog Jerman ternama, Prof. Annemarie Schimel, hanya menyebut dua sufi dan pemikir besar muslim yang pemikiran dan karyanya sampai kini masih berpengaruh di dunia keilmuan Barat, yakni Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal.
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab Pakistan. Tidak ada informasi pasti tanggal dan tahun berapa ia dilahirkan. Tiga pendapat menyatakan, Iqbal dilahirkan pada 22 Februari 1873, antara lain dikemukakan oleh Miss-Luce Claudde Maitre, Osman Raliby dan Bachrum Rangkuti. Yang kedua menyatakan Iqbal dilahirkan apada 1876. Pendapat terakhir menyatakan Iqbal dilahirkan pada 9 November 1877 (2 Dzulqa’dah 1294). (Ensiklopedi Tokoh Islam,2003;256).
Iqbal sejak kecil sudah terbiasa lingkungan religius dengan suasana keilmuan yang kental. Kakeknya, Rafi adalah tokoh sufi terkenal. Sementara ayahnya seorang yang shaleh yang mendorong Iqbal untuk dapat menghafal al-Qur’an. Kecenderungan spiritual dalam keluarga yang kelak sangat mempengaruhi pemikirannya.
Sebelum menempuh pendidikan formal, Iqbal menjalankan penedidikannya di surau, di tempat inilah kelak menjadi landasan di sekolah dasar Scottish Mission School Sialkot. Setelah tamat dari sekolah ini ia melanjutkan study di Murray College di Lahore. Di tempat inilah ia berguru pada Sir Thomas Arnold, seorang orientalis asal Inggris yang juga guru besar di Allgarh University.
Pada 1905 Iqbal berangkat ke Cambridge University Inggris untuk mendalami filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman dan disanalah ia mendapat gelar Ph.D.dalam studi tasawuf dengan mengajukan disertai berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisik di Persia). Setelah meraih gelar itu ia bertandang ke London mendalami bidang advokat sambil mengajar Bahasa dan Sastra Arab di University London.[9]
Di tahun 1908 ia kembali ke Lahore, disamping sebagai pengacara ia menjadi dosen filsafat. Kemudian ia memasuki dalam bidang politik. Pada tahun 1930 ia terpilih menjadi presiden Liga Muslim dan dalam Perundingan Meja Bundar ia dua kali mengambil bagian. Ia juga pernah menghadiri Konferensi Islam di Yerussalem.
Muhammad Iqbal adalah seorang penyair dan seorang filosof, tetapi pemikirannya mengenai kemunduran dan kemajuan Islam mempunyai pengaruh pada gerakan pembaharuan dalam Islam.
Menurutnya sama dengan pemikiran yang lain, bahwa kemunduran umat Islam itu disebabkan kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam telah sampai kepada keadaan statis. Sebab lain menurut Iqbal karena adanya pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Namun sebab utama adalah karena hancurnya Bagdad sebagai pusat kemajuan Islam di pertengahan abab ketigabelas.
Menurut Iqbal, sebenarnya hukum Islam itu tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup, Islam sebenarnya mengajarkan dinamisme. Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis.
Paham dinamisme Islam yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong ummat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Iqbal berseru kepada ummat Islam, bangun dan ciptakanlah sesuatu yang baru.
Iqbal salah seorang pelopor pendirinya Negara Pakistan, sebagaimana ditegaskannya dalam Rapat Tahunan Liga Muslim di tahun 1930: “Saya ingin melihat Punjab, Daerah Perbatasan Utara, Sindi dan Balukhistan, bergabung menjadi satu Negara”. Dan di sinilah diumumkan secara resmi ide dan tujuan membentuk Negara tersendiri Pakistan.[10]
Pengaruh Iqbal dalam pembaharuan India ialah menimbulkan paham dinamisme di kalangan umat Islam dan menunjukkan jalan yang harus mereka tempuh masa depan agar sebagai umat minoritas di anak benua itu mereka dapat hidup bebas dari tekanan-tekanan luar.[11]
Karirnya semakin memuncak ketika pemerintah Inggris memberikannya gelar Sir atas usulan wartawan yang concern menggeluti pemikiran Iqbal. Pemberian ini menunjukan pengakuan Inggris akan kemampuan intelektualitas Iqbal dan memperkuat bargaining position politik bagi perjuangan umat Islam India saat itu (Syekh Abdul Vahid,tt;5).[12]
  1. Gagasan Pembaruan: Tentang Barat dan Timur
Tentang dunia Barat dan Timur, Iqbal memilki obsensi besar bagi terciptanya perdamaian antara dua entitas yang selama ini, dikenal tidak ‘akur’. Ia menginginkan kehidupan, indah dibangun atas dasar cinta (‘Isyaq). Dalam kehidupan cinta sebagai ornament penting terciptanya perdamaian peradaban, jelas terlihat bahwa Iqbal merindukan Barat dan Timur tidak pada format dikotomis, tetapi dalam posisi saling mengisi. Obsesi tersebut tidak lain bertolak dari doktrin al-Qur’an tenteng persaudaraan universal umat manusia (QS. Al. Hujuraat 49;13).
Bagi Barat, penalaran (akal) merupakan instrument kehidupan, bagi Timur alam semesta terletak dalam cinta. (Isyaq). Dengan bantuan cinta akal akan berkenalan dengan realitas, sedamgkan cinta akan menerima kekuatan dari akal sebagai penguatan fondasinya. Bila cinta dan akal berpadu, akan terciptalah sebuah dunia baru. Iqbal berkata: “bangkitlah dan bangunlah sebuah dunia baru itu, dengan mengawinkan cinta dan penalaran”.
Iqbal memiliki semangat nasionalisme dan gigih melawan kolonialisme dan inperialisme yang telah memecah persaudaraan universal. Hal ini terlihat dalam surat yang disampaikan DR. Nicholson terhadap Ernest Renan yang menyatakan bahwa penjajahan adalah musuh besar Islam (Timur). Pernyataan itu adalah gagasan tentang ras, al-Qur’an sendiri mengabaikan perbedaan-perbedaan kecil antara sesama.
  1. Kajian Islam Menurut Iqbal
Dalam pengantar buku The Recontrucion of Religius in Islam, terlihat Iqbal begitu sadar akan pentingnya peninjauan kritis dan penataan kembali terhadap pemahaman-pemahaman keagamaan dan ajaran-ajaran Islam dengan memperhatikan tradisi-tradisi filsafat Islam dan perkembangan-perkembangan paling akhir diberbagai wilayah pengetahuan manusia. Sebagai refleksi terhadap hal ini maka Iqbal mewancanakan perlunya ijtihad (Ali Audah,1996;28).
Bagi Iqbal, agar hukum itu sesuai dengan konteksnya,maka ijtihad adalah solusi yang tepat. Pendekatan yang disuarakan Iqbal adalah kontekstual dan sosio-historis, bukan taglid kepada produk klasik. Sama hanya dengan gerak social yang mengalami perubahan, yang berarti pintu ijtihad harus tetap terbuka. Dengan ijtihad dan menjauhi fatalisme inilah, manusia akan senantiasa dinamis. Dan inilah yang dikendaki al-Qur’an, al-Qur’an selalu mengajak manusia untuk berfikir, menggunakan akalnya terhadap seluruh tanda-tanda alam.[13] 
  1. Iqbal dan Nasionalisme Islam  
Muhammad Iqbal adalah seorang nasionalis India. Syair-syairnya banyak menyuarakan dukungannya dan anjuran agar umat Hindu dan Islam bersatu memperjuangkan kemerdekaan. Iqbal, penyair dan filosof Islam, telah mengukir hidupnya sedemikian rupa sehingga akan selalu dikenang umat manusia dimasa-masa yang akan datang. Seluruh karyanya dalam bentuk puisi dan prosa dalam bahasa Urdu, Parsi dan Inggris telah terkodifikasi dengan baik. Ia meninggal pada 21 April tahun 1938, dalam usia 62 tahun.[14]





III
PENUTUP

Kesimpulan
Demikianlah, gagasan dan pemikiran dua tokoh, muslim India, Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal. Keduanya adalah inspirator bagi terbentuknya Negara Islam yang terpisah dariumat Hindu India, yaitu Pakistan. Semula mereka bersikap kooperatif terhadap penjajahan colonial Inggris, namun gagasan komunalisme yang mereka unsung pada akhirnya menyulut rasa nasionalisme muslim India untuk menentukan nasibnya sendiri dan keluar dari baying-bayang umat Hindu India.
Sir Ahmad Khan adalah orang yang mampu menggugah kesadaran umat Islam India akan pentingnya pendidikan. Karena baginya, selama masih dalam kebodohan, umat Islam tidak akan mungkin bisa menentukan hak-hak hidup dan kemerdekaannya sendiri. Untuk itulah, sepak terjangnya banyak difokuskan pada masalah pendidikan dan memilih menjauhi politik praktis.
Sementara itu, Sir Muhammad Iqbal adalah sosok pribadi muslim yang menggabarkan hasil produk dua warisan, yaitu aspek India dan aspek Islam sekaligus. Iqbal juga adalah seorang penyair dan filosof yang tidak hanya disegani kalangan muslim saja, tapi juga kalangan Hindu dan Inggris. Ia yang semula pengajur kesatuan persatuan umat Islam dan Hindu di bawah satu Negara India. Sebagaimana pendahuluanya, Ahmad Khan, Muhammad Iqbal pada akhirnya mengeluarkan ide komunaisme, bahwa umat Islam tidak mungkin bisa bersatu dengan umat Hindu di bawah satu atap Negara. Ide dan pemikiran keduanya inilah yang kelak menjadi dasar pijakan bagi generasi setelahnya dengan berdirinya Negara Islam Pakistan pada tahun 1947.





DAFTAR PUSTAKA

Fattah. Wibisono, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, Jakarta: Rabbani Press, 2009.
Yusran. Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.
Nasution. Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001.

 














 



















[1] Dr. H.A Fatah Wibisono,MA pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, (Jakarta: Rabbani Press: 2009)h. 114
[2] Ibid. h.115
[3] DRS H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 40
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan BIntang, 2001), h.162-163
[5] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), h. 41-42
[6] Dr. H.A. Fattah Wibisono, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 2009), h. 116-117
[7] Ibid, h. 117-118
[8] Ibid, h. 119
[9] Ibid, h. 121-122
[10] Drs. H.M.Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 47
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), h. 180
[12] Dr. H.A. Fattah Wibisono,MA Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 2009), h. 122
[13] Ibid, h.122-124
[14] Ibid, h. 125-126
A.   Syekh Muhammad Abduh
1.      Riwayat Singkat Muhammad Abduh
      Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, Ia lahir di desa Mahallat Nashr Kabupaten Al-Buhairah, mesir pada tahun 1849 M. Ia Bukan berasal dari  keturunan orang kaya atau keturunan Bangsawan. Namun ayah di kenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[1]
            Kekerasan yang di terapkan oleh penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk berpindah-pindah tempat untuk menghindari nya, Abduh lahir pada kondisi yang penuh deanga kecemasan ini[2].
Pada mulanya abduh di kirim ayahnya ke masjid Al-Ahmadi, tetapi belakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sisitem di sana sangat menjengkelkan sehingga setelah dua tahun dia di sana, ia memutuskan untuk kembali  ke desanya dan bertani seperti saudaranya. Ketika kembali kedesa, ia di kawinkan, pada sa’at itu ia berumur 16 Tahun. Semula ia bersikeras untuk tidak melanjutkan studi nya, tetapi ia kembali belajar atas dorongan paman, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afgani, atas jasa nya itu Abduh berkata “ia telah membebaskan aku dari penjara kebodohan dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan ”
      Abduh melanjutkan studi ke Al -Azhar  pada bulan Februari 1866, pada tahun 1871 Jamaluddin Al-Afgani tiba di mesir. Ketika itu abduh masih menjadi mahasiswa al-azhar menyambut kedatangan nya. Ia selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan ia pun menjadi murid kesayangan Al-afgani. Al-afgani pulalah yang mendorong abduh menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel pembaharuan nya banyak di muat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.
            Setelah menyelesaikan Studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, abduh mulai mengajar di Al-Azhar. Di Dar-ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika al-afgani di usir dari Mesir pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, abduh juga di tuduh di dalamnya, ia di buang keluar kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia di perbolehkan kembali keibukota, kemudian di angkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah mesir, Al-Waqa’i al-mishriyyah. Pada waktu itu kesadaran Nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional mesir, di samping berita-berita resmi.
            Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan) abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i, ia di tuduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama 3 tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat untuk pengasingannya. Dan ia memilih Suriah. Ia menetap selama setahun. Kemudian ia menyusun gurunya Al-afgani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan surat kabar Al-Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan pan-islam menentang penjajah barat, khususnya Inggris.
Tahun 1885 abduh di utus oleh surat kabar tersebut ke inggris  untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir[3]. Tahun 1899. abduh di angkat menjadi Mufti Mesir, kedudukan besar itu ia pegang sampai ia meninggal dunia Tahun 1905
2.      Pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:[4]
  1. Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagai mana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
  2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.
            Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat ini dapat digambarkan sebagian “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapt pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng­-istibnat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
            Atas dasar kedua fokus pikiran nya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah.Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:[5]
  1. Tuhan dan sifat-sifatnya
  2. Keberadaan hidup diakhirat
  3. Kebahagiaan jiwa diakhirat bergantung pada upaya mengenal tuhan danberbuat baik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat
  4. Kewajiban manusia mengenal tuhan
  5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan diakhirat
  6. hukum-hukum mengenai kewajiban itu.[6]
            Dengan memperhatikan perbandingan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya adalah sebagai  penolong (al-mu’min). kata ini pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
            Wahyu, katanya, menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat. Mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya. Menyempurnakan akal tentang tuhan dan sifat-sifatnya. Dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih pada Tuhan. dengan demikian, wahyu bagi Abduh  berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
            Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Islam, kata nya, adalah agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal, wahyu yang dibawa nabi tidak mungkin bertententangan dengan akal. Kalau ternyata keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.[7]
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
            Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi mahluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya. Kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya  sendiri, dan selanjutnya mengwujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[8]
            Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang dipaksakan manusia atau Jabariyah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh. Manusia, menurutnya, mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih, namun tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebesan mutlak sebagai orang yang angkuh.[9]
c. Sifat-Sifat Tuhan
            Dalam Risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai sifat itu termasuk asensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan menusia. sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk asensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[10]
d. Kehendak Mutlak Tuhan
            Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mengwujudkan perbuatan -perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh Sunnatullah yang telah ditetapkannya. Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan Sunnatullah Sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.[11]
e. Keadilan Tuhan
            Karena memberi daya besar kepada  akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam ini bukan hanya dari segi kehendak mutlak tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia. Adapum masalah keadilan Tuhan, ia memandangnya bukan hanya dari segi kemaha sempurnaan-Nya, tapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidak adilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.[12]
f. Antrofomorfisme
            Karena Tuhan termasuk kedalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat Jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin asensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh mahluk dialam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk sebaginya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang arab kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-arsy dalam Al-Qur’an bearti kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy bearti pengetahuan.[13]
g. Melihat Tuhan
            Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohan  itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya dihari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatupun dari mahluk yang menyerupai tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu diakhirat.
h. Perbuatan Tuhan
Karena pendapat ada perbuatan tuhan yang wajib, Abduh sefaham denganMu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi tuhan untuk berbuat apa yang terbaik buat manusia[14]
B.   Ahmad Khan
a. Riwayat singkat Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah dan Ali dan dia dilahirkan di Delhi pada tahun 1817 M. Nenek dari Syyaid Ahmad Khan adalah Syyid Hadi yang menjadi pembesar istana pada zaman Alamaghir II ( 1754-1759 ) dan dia sejak kecil mengenyam pendidikan tradisional dalam wilayah pengetahuan Agama dan belajar bahasa Arab dan juga pula belajar bahasa Persia. Ia adalah sosok orang yang gemar membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan dia ketika berumur belasan tahun dia bekerja pada serikat India Timur. Bekerja pula sebagai Hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali pulang ke kota kelahirannya Delhi.[15]
Di kota inilah dia gunakan waktunya dan kesempatannya untuk menimba ilmu serta bergaul dengan tokoh – tokoh , pemuka Agama dan sekaligus mempelajari serta melihat peninggalan – peninggalan kejayaan Islam, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Selama di Delhi Sayyid Ahmad Khan memulai untuk mengarang yang mana karyanya yang pertama adalah Asar As – Sanadid. Dan pada tahun 1855 dia pindah ( hijrah ) ke Bijnore, di tempat ini pula dia tetap mengarang buku – buku penting mengenai Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan di akibatkan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan ( Anarkis ) terhadap penduduk India. Ketika dia melihat keadaan masyarakat India kususnya Delhi, ia berfikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi dia sadar dan terketuk hatinya harus memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju.[16]maka ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan konflik, serta mejadi penolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga di beri gelar Sir, tetapi ia menolaknya atas gelar yang di berikan tersebut. Pada tahun 1861 ia mendirikan sekolah Inggris di Muradabad, dan pada tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Angio Oriental College ( MAOC ) di Aligarh yamg merupakan karya yamg paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan perkembangan dan kemajuan Islam di India.
b. Pemikiran Kalam Sayyid Khan
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikian dengan M.abduh di Mesir, hal ini dapt terlihat dari ide-ide yang di kemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangan nya. Meskipun demikian sebagai penganut ajaran islam yang ta’at  dan percaya akan wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukanlah segala-galanya dan kekuatan akal pun terbatas.[17]
            Khan juga mepunyai faham yang sama dengan faham qadariyah, menurutnya manusia telah di anugrahi tuhan dengan berbagai macam daya, di antaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya . karena kuat nya kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, ia di anggap kafir oleh sebahagian ummat Islam. Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah.
            Khan menentang keras faham Taklid. Khan berpendapat bahwa ummat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di Barat, peradaban baru ini timbul dengan berdasar pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan inilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang barat.[18]
            Selanjutnya, khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menetukan tabi’at atau Nature (Sunnatullah) bagi setiap makhluk nya yang tetap dan tidak pernah berubah. Menurutnya Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.
            Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mau mengambil al-qur’an sebagai pedoman bagi ummat Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting. Adapun alasan nya penolakannya adalah karena hadis berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama dan kedua sewaktu hadis itu di kumpulkan, sedangkan hukum Fiqih, menurutnya, berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab-mazhab.
            Sebagai konsekuensi dari penolakan terhadap taklid, khan memandang perlu di adakkan ijtihad –ijtihad baru untuk menyesuikan pelaksanaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[19]
C. Muhammad Iqbal
1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad iqbal di lahirkan di Sialkot pada tahun 1873. ia berasal dari keluarga Kasta Brahmana Khasmir. Ayah nya adalah Nur Muhammad yang terkenal Sholeh. Guru pertama nya adalah ayahnya. Kemudian di masukkan kedalam sebuah Maktab untuk mempelajari Al-Qur’an, dan setelah itu ia di masukkan Scottish Mission School, di bawah bimbingan Mir Hasan, ia di beri pelajaran agama, bahasa Arab dan Persia. Setelah ia menyelesaikan sekolahnya, ia pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College. Di sini ia bertemu dengan Thomas Arnord, se orang Orietalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[20]
            Pada tahun 1905 setelah mendapatkan gelar M.A. di Government College, Iqbal pergi ke Inggris untuk belajar filsafat pada Universitas Cambridge. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di universitas ini ia mendapat gelar Ph.D. dalam tasawuf dengan desertasi yang berjudul The Development Of Metaphysies In Persia (perkembangan metafisika di persia).[21]
            Iqbal tinggal di Eropa kurang lebih tiga tahun, sekembalinya dari Munich. Ia menjadi Advokat dan dosen.buku yang   The Reconstruction of Religious Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah –ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya yang terbesar dalam bidang Filsafat.
            Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi Konferensi Tahunan liga Muslim di Allahabad, dan pada tahun 1932, ia ikut dalam koferensi meja bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Okteber tahun 1933, ia di undang ke Afganistan untuk membicarakan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia. Dan pada tahun itu ia meninggal pada tanggal  20 April 1935.
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya melakukan pembaharuan dalam dunia Islam hal ini di sebabkan kebekuan ummat Islam dalam pemikiran dan di tutupnya pintu Ijtihad. Mereka seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan berfikir Rasional kaum Mu’tazilah karena hal tersebut membawa Disisntegrasi ummat Islam dan membahayakan kestabilan politik mereka.
Hal ini yang di anggap sebagai penyimpangan dari semangat Islam, semangat dinamis dan kreatif. Islam tidak statis tetapi dapat di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri dari dinamika yang harus di kembangkan dalam Islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syari’at pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespon individu dan masyarakat, karena Islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.[22]
Besar nya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang di namis tentang Al-Qur’an dan hukum Islam. Tujuan di turunkan Al-Qur’an, menurutnya adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan memjabarkan nas-nas Al-qur’an yang bersifat global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah inilah yang dalam rumusan Fiqh di sebut dengan ijtihad yang oleh iqbal di sebut sebagai prinsip gerak dalam struktur islam[23].
            Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam, Ijtihad harus di jadikan ijtihad kolektif. Menurut iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legeslatif Islam adalah salah satu cara paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sisitem hukum islam yang selama ini hilang dari ummat islam dan menyeru kapada kaum muslimin dan mengembangkanya lebih lanjut.
  1. Hakikat Teologi
      Secara umum iqbal melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi ke imanan, mendasarkan pada esensi Tauhid. Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebas merdekaan”[24] pandangan tentang ontologi teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan) yang melekat pada literatur ilmu kalam kalsik.
  1. Pembuktian Tentang Tuhan
      Dalam membukitikan eksitensi tuhan, iqbal menolak argumen kosmologi maupun ontologis dan ia juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksitensi tuhan yang mengatur ciptaannya dari sebelah luar. Walaupun demikian ia menerima landasan teologis yang imanen (tetap ada). Untuk menompang hal itu, iqbal menolak pandangan yang statis tentang Matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut di temukan iqbal dalam jangka waktu murni nya bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam jangka waktu murni, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian) kesatuannya seperti kuman yang didalamnya terdapat pengalaman- pengalaman nenek monyang individu, bukan sebagai kumpulan, tetapi sebagai sesuatu kesatuan yang di didalam nya mendorong setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya. Dan dari individu “jangka waktu murni” ini kemudian di transfer ke alam semesta dan membenarkan ego mutlak. Gagasan inilah yang di bicarakan iqbal ke dalam al-qur’an. Jadi, iqbal telah menafsirkan tuhan yang imanen bagi alam.
  1. Jati Diri Manusia
      Faham dinamisme iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapat nya tentang persoalan ini dapat di lihat dari konsep Ego, Ide Sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu di artikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang di lakukan oleh para sufi yang menundukan jiwa sehingga fana dengan Allah[25].
 Pada hakikatnya menafikkan diri bukan lah ajaran Islam karena hakikat hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudinya tampak nya merupakan reaksi terhadap kondisi ummat Islam yang ketika itu telah di bawa oleh kaum sufi semakin jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran khudi nya, ia mengemukakan pandangan yang di namis tentang kehidupan dunia.
  1. Dosa
      Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang, kebangkitan manusia dari kondisi primitif yang di kuasai hawa nafsu naluriyah kepada pemilikan kepribadian bebas yang di perolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecendrungan untuk membangkang dan timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih” Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini, menunjukkan kepercayaan nya yang besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Namun pengakuan terhadap kemandirian (Manusia)itu melibatkan pengakuan terhadap semua ketidak sempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian itu.[26]
  1. Surga dan Neraka
      Surga dan Neraka, kata iqbal adalah keadaan, bukan tempat.gambaran tentang keduanya dalam al-qur’an adalah penampilan – penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka menurut rumusan Al-Qur’an adalah Api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati. Pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusai. Surga adalah kegembiraan karena mendapat kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam Islam.Neraka, sebagai mana di jelaskan dalam Al-Qur’an, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang di sediakan tuhan. Ia adalah pengalaman kolektif yang mendapat memperkeras ego sekali lagi agar lebih sensitif terhadap tiupan angin sejuk dari kemahamurahan Allah. Surga juga bukan tempat berlibur. Kehidupan ini hanya satu dan berkesinambungan.[27]




Daftar Pustaka
  1. Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung 2001
  2. Departemen Pendidikan Nasional.,Ensiklopedi Islam,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002
  3. Nasution, Harun, Dr, Prof. 1990. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan. Jakarta: PT Bulan Bintang.
  4. http://www.mail-archive.com/majelis



[1] Quraish shihab, study kritis tafsir al-manar, pustaka hidayah, bandung, 1994, hlm 12
[2]Nasution, loc, cit,
[3] Di antara tujuan kunjungan nya adalah mendiskusikan kemerdekaan Mesir dengan para diplomat Inggris. Di sini pula Abduh berkenalan dengan Wilfrid Scawen Blunt, seorang penulis Inggris yang berpartisipasi atas nasib Mesir 
[4] M. Quraish Shihab, Study krItis Tafsir Al-Manar, pustAka hIdayah, Bandung, 1994. hlm 19
[5] Harun Nasution, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1987, hlm 57
[6]Nasution, Pembaharuan ….op. cit hlm 74
[7] Patrick Bannerman, islam in perspective : a guide to Islamic society, politics and law, routledge London en new york for the royal institute of international affairs, London, hlm. 132
[8]Nasution, Muhammad …, op,cit, hal 65
[9] Ibid., hlm, 66
[10] Ibid..
[11] Ibid.., hlm, 80
[12] Ibid., hlm 78-79
[13] Ibid.., hlm 80
[14] Ibid .., hlm 85
[15] Ibid..
[16] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di INDIA dan pAkistan, Mizan, Bandung 1993, hlm. 65-66
[17] Ibid.., hlm 167
[18] Ali, op. cit.., hlm. 70
[19] Faham Qadariyah dan ide liberal yang di anut nya, mendorong khan memberi penafasiran baru bagi ajaran-ajaran islam.
[20] Abdul Wahab Azzam, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’Ruh, terj, Pusataka, Bandung. 1985, hlm, 17
[21]Nasution, Pembeharuan …, op, cit, hlm. 190
[22] Marshal G.S. Hudgson, The vEnture Of Islam, Chicago Press, Chicago, 1974, hlm, 39
[23]Muhammad iqbal , the Recontraction Of Religion Thought In Islam, barVan, New Delhi, 1981, hlm, 92
[24] Iqbal, op, cit., hlm 154
[25] Azzam op, cit., hlm. 56
[26] H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Rajawali press, Jakarta, 1995, hlm. 131-132
[27] Ibid.., hlm. 133-134

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget