Sabtu, 08 Februari 2014



Sumber-sumber Maqasid Al-syariah
Maqasid al-syariah atau goals dan objectives dari hukum Islam adalah suatu hal yang sangat jelas pentingnya dan tak pernah terabaikan dari syari’ah. Secara umum, syari’ah didasarkan pada manfaat yang diberikan bagi individu dan juga masyarakat, dan hukum-hukum dari maqasid didesign, dirancang, agar dapat memproteksi manfaat tadi dan memfasilitasi kondisi perbaikan dan kesempurnaan pada manusia dibumi. Al-qur’an menyatakan hal ini ketika memilih Nabi Muhammad saw dengan ayat-Nya yang berbunyi:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. 21:107)
dan juga ayat yang berbunyi:
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. 10:57).
Dua ayat diatas yang menekankan kepada rahmat dan huda (petunjuk) ternyata juga dibenarkan oleh ketentuan-ketentuan yang lain dari Al-qur’an dan As-Sunnah yang memerintahkan menegakkan keadilan, menghapus prasangka, dan menghilangkan penderitaan. Al-qur’an dan as-Sunnah juga menekankan kerjasama dan dukungan mutual baik skala keluarga maupun masyarakat. Keadilan itu sendiri adalah manifestasi Rahmah Allah sebagai sebuah tujuan syari’ah. Rahmat ini diwujudkan dalam realisasi maslahat (benefit) dimana para ‘Ulama secara umum telah menganggapnya menjadi bagian nilai dan tujuan yang meresap pada syari’ah.
Pendidikan individu (tahdhib al-fard) adalah salah satu tujuan terpenting dari syari’ah, ketika turun menjadi prioritas bahkan sebelum keadilan dan maslahah. Untuk kedua tujuan ini yang mempunyai nilai orientasi pada sosial membutuhkan banyak makna dalam kaitan hubungan sosial, dimana tahdhib al-fard menjadikan setiap individu seorang wakil yang terpercaya dan membawa nilai-nilai syari’ah, dan itu tergapai melalui pendidikan individu dimana syari’ah mencoba untuk merealisasikan banyak tujuan sosial. Semua tujuan dari sebuah hukum yang ideal dan nilai-nilai syari’ah, khususnya dalam lingkungan ibadah dan pendidikan moral, adalah untuk melatih individu yang sadar akan kebajikan, taqwa dan menjadi wakil yang membawa maslahah bagi yang lain.
Al-qur’an menyatakan dalam berbagai tempat dan konteks, bahwa dasar pemikiran, tujuan dan maslahah suatu hukum secara karakteristik terletak pada goal-oriented. Segi ini, biasanya dalam bahasa Al-qur’an terletak pada transaksi muamalah seperti juga pada hal-hal ibadah. Jadi, ketika suatu dalil menguraikan katakan tentang wudhu, maka perintah wudhu tersebut mengikuti sebuah ayat:
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS. 5:6)
Kemudian, berhubungan dengan shalat itu sendiri:
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.(QS. 29:45)
Berkaitan dengan jihad, Al-qur’an juga menyatakan tujuannya seperti:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. (QS. 22:39).
Dengan kata lain, tujuan legalisasi jihad adalah untuk memerangi ketidakadilan (zulm) sedangkan tujuan shalat adalah mencapai kemurnian spritual dan keunggulannya dikerjakan bersama kebersihan phisik melalui wudhu sebelum shalat. Berkaitan dengan hukum qishash, dalil yang menyatakan yaitu:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa’. (QS. 2:179);
sedang berkaitan dengan zakat :
“ …agar kekayaan itu tidak berkumpul hanya kepada orang kaya saja”. (Q.S ..Al-Hasr: 7)
Sehubungan dengan masalah seks, Al-qur’an memerintahkan untuk menundukan pandangan antara laki-laki dan perempuan dengan maksud:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. 24:30)
Kita dapat menambahkan lagi beberapa keterangan dari Al-qur’an dan as-Sunnah bagaimana suatu penekanan hokum ditekankan pada justifikasi tujuan, penyebab dan maslahat yang dapat diambil darinya, juga dapat ditemukan adanya perilaku jahat dan kriminal yang oleh Al-qur’an dan as-Sunnah ditegur dan diberikan hukuman semata-mata untuk menghindari ketidakadilan, korupsi dan perasangka yang merugikan. Di dalam masalah perdagangan dan muamalat, Al-qur’an melarang eksploitasi, usury (bunga), ikhtikar (penimbunan), gambling (perjudian) dimana kekerasan dan hal yang menghancurkan tujuan dari market-place. Yang harus menjadi underline dari semua ini adalah spektrum yang begitu luas dari suatu ahkam yang menekankan realisasi maslahah (benefit) yang dianggap sebagai summa of the maqasid. keadilan juga merupakan maslahah dan merupakan dari tahdhib al-fard. Masalih, kata lain dari maslahah menjadi nama lain dari sebuah maqasid dan para ulama telah menggunakan dalam dua term yang saling berubah.
Klasifikasi Masalih
Para ulama telah mengklasifikasikan masalih maqasid secara luas kedalam tiga kategori, dimulai dengan essential masalih atau daruriyyat, diikuti dengan kategori complementary benefit atau hajiyyat, dan yang terakhir tahsiniyyat. Sedangkan the essential interest disebutkan sebanyak lima perkara yaitu, agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Inilah yang didefinisikan sebagai suatu hal yang perlu dalam masyarakat baik sebagai survival maupun spritual yang dimiliki setiap individu, agar kerusakan dan kebrutalan yang terjadi akan cepat hilang dan collapse dan kehidupan normal akan dicapai kembali.
Syari’ah mencoba untuk melindungi dan memperkenalkan nilai-nilai dan ukuran-ukuran validitas bagi penjagaan dan kemajuan yang dicapai (preservation and advancement). Syariat jihad yang telah mendapat legalisasi bertujuan untuk melindungi agama, demikian pula dengan syariat qishash yang semata-mata untuk melindungi kehidupan.
Syari’ah mengambil punitive measure dan juga affirmative measure untuk melindungi dan mempromosikan nilai-nilai syariah yang ada. Dalam sisi punitive, mencuri, berzina dan meminum-minuman keras merupakan perbuatan yang akan dikenai hukuman yang bersifat offensif karena merupakan perbuatan yang mengancam atau merusak perlindungan hak properti seseorang, kehormatan suatu keluarga dan integritas manusia yang berakal.
Dalam sisi affirmatif, syariah justru mendorong aktivitas kerja dan perdagangan agar setiap individu mampu memelihara sebuah kehidupan dan mampu membuat elaborasi ukuran-ukuran, measure, untuk menjamin arus transaksi perdagangan secara lancar dalam suatu pasar. Hukum-hukum keluarga (fiqh ‘usrah) yang merupakan bagian dari syariah secara luas mengarahkan dan mengatur suatu keluarga agar keberadaannya menjadi tempat perlindungan bagi semua anggota keluarga. Syariah juga mengajurkan kepada manusia untuk mencari ilmu (knowledge) agar dapat menjamin intelektual seseorang dan education agar dapat memajukan seni dan masyarakatnya. Dengan kata lain, essensi syariah merupakan sebuah all-encompassing dari syariah karena seluruh hukumnya berada dalam satu cara, satu arah yang saling berhubungan kepada perlindungan yang membawa berbagai maslahah. Maslahah-maslahah ini diwujudkan dalam suatu prioritas dan keberatan-keberatan yang menolak dari suatu hal sesuai dengan syari’ah.
Bagian kedua dari masalih adalah hajiyyat (complementary interest) yaitu bukan kategori yang independen karena hajiyyat juga berusaha untuk melindungi dan mengajukan esensial interest (lima tujuan maqasid yang dijaga yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta) sekalipun dalam kapasitas kedudukan atau level kedua. Hajiyyat juga dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mencapai maslahah dengan melepaskan kepelikan dan penderitaan, tetapi kepelikan dan penderitaan itu tidak mengancam kelangsungan hidup (survival). Contoh yang nyata dari hal ini adalah adanya (keringanan) rukhsah dalam shalat karena berada dalam perjalanan (musafir) yang semula berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat, atau bolehnya berbuka puasa ketika sakit/diperjalanan.
Disini terlihat bahwa syariah telah memberikan bantuan untuk menghilangkan kesulitan ini, tetapi kedua contoh diatas juga bukan merupakan masalah yang essensial dalam artian manusia tetap hidup tanpa itu (bersifat opsional). Hampir semua kewajiban ibadah syariah telah diberikan keringanan (concession). Demikian juga dengan masalah hukum kriminal, bahwa hadist menyatakan menentukan suatu hukum dapat ditunda bila terdapat keraguan dalam memutuskannya merupakan sebuah proteksi dimana hukum harus diperkuat dengan adanya keyakinan memutuskan hukuman tersebut. Hukuman-hukuman ini kembali ditandai untuk melindungi essentials interest melalui judicial action yaitu pengadilan. Dibagian lain dalam muamalah, syari’ah telah mensyahkan beberapa kontrak/akad seperti penjualan salam, ijarah, karena kebutuhan manusia akan dibalik kontrak itu sekalipun ada suatu yang ganjil yang nyata dalam keduanya. Dibagian hukum keluarga (fiqh ‘usrah), syari’ah telah mengizinkan adanya perceraian ketika berada dalam situasi yang sangat diperlukan, ini merupakan sebuah rukhsakh yang membantu, pada keputusan akhir, menjamin keselamatan keluarga dan membela dari konflik yang tak terhindarkan.
Maslahah pada bagian kedua (hajiyyat) dapat berubah menjadi essential maslahah (dharuriyyat) ketika itu menyangkut kepentingan publik yang besar. Ilustrasinya seperti validitas ijarah yang penting bagi individu (secondary importance), tetapi bagi publik hal itu merupakan essential interest. Hal serupa, rukhsash tertentu yang diberikan dalam masalah ibadah mungkin menjadi urutan kedua (secondary; artinya rukhsakh itu boleh diambil maupun tidak) untuk survival bagi individu tetapi itu menjadi prioritas utama bagi khalayak banyak. Dalam hal munculnya berbagai konflik dimana melibatkan banyaknya maslahah yang diambil, maka maslahah yang lebih kecil harus dikorbankan untuk melindungi maslahah yang lebih besar. Sebaliknya ketika konflik majemuk terjadi dimana tak ada maslahah yang preferable, maka pencegahan dari kerusakan (mudharat) lebih baik daripada mengambil maslahah yang kecil. Hal ini karena syari’ah lebih empati kepada pencegahan kerusakan, sebagaimana dapat dilihat dari hadist Nabi, Dimana Muhammad saw bersabda,
“ketika saya memerintahkan kalian sesuatu, lakukan itu semampu kalian, tetapi ketika aku melarang kalian sesuatu, maka jauhilah itu”.
Pembagian yang ketiga dari masalih maqasid yang dikenal sebagai tahsiiniyyaat yaitu sesuatu sifat-sifat yang disenangi oleh manusia dimana mereka mencoba mencari perbaikan dan kesempurnaan dalam hal berperilaku dan adat kepada orang banyak. Seperti syari’ah mendorong kesucian tubuh dan mengenakan pakaian (salah satunya) untuk tujuan shalat, sekedar contoh, pemakaian minyak wangi ketika menunaikan shalat Jum’at, sebaliknya syari’ah tidak menganjurkan mengkonsumsi bawang putih (sesuatu yang membuat bau tak sedap) pada kesempatan itu. Syari’ah juga menganjurkan sadaqah bagi yang melebihi kebutuhannya dan dalam hal ibadah, syari’ah menganjurkan shalat –shalat sunah. Dalam hubungan dengan komunitas , syari’ah memerintahkan kelembutan, tutur kata yang sopan, akhlak al karimah dan berlaku ihsan . Hakim dan kepala negara dinasehati untuk tidak berlebihan dalam pemaksaan suatu hukuman. Semua ini adalah untuk mencapai keindahan dan kesempurnaan perilaku manusia.
Kategori terakhir ini mungkin mempunyai sesuatu yang penting dan khusus karena dapat meresap dan menghubungkan kepada masalaih yang lain. Contohnya, seseorang dapat menunaikan kewajiban shalat, dengan cara-cara yang berbeda, dengan atau tanpa kekhusu’an yang pas dan memberikan setiap gerakannya perhatian, atau menunaikannya secara tergesa-gesa dan cara yang tak terpikirkan, dan perbedaan antara itu, pertama didukung oleh intisari shalat (essensial) dan keinginan-keinginan (hasrat), dan kedua hal itu bisa saja hanya sebagai peleburan kewajiban. Seseorang dapat memperluas analisis ini hampir kesemua perilaku manusia dan mengimplementasikan hampir ke semua ahkam syari’ah. Ini harus jelas, bahwa klasifikasi masalih tidak perlu dibatasi kepada hukum–hukum syari’ah atau kepada masalah agama saja karena dasar sebuah konstruksi rasional itu dapat diaplikasikan kepada adat, sosial, politik, ekonomi, budaya dan lainnya. Untuk membangun sebuah rumah sakit pertama pada sebuah kota, maka ini menjadi sebuah kebutuhan dan keperluan, tetapi untuk membangun yang kedua dan ketiga hanya sebagai komplementer dan hasrat saja. Dan untuk melengkapi setiap rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih baik maka hal ini jatuh pada kategori kedua atau ketiga dari pembagian masalih, tentu saja, tergantung pada kondisi setiap lokasi. Dari analisis ini, tampak bahwa pengklasifikasian maslahah tertentu dibawah salah satu atau kateori yang lain mungkin menjadi relatif dan melibatkan value judgment yang bermaksud keadaan datang dalam setiap kasus.
Literatur Maqasid al-Syariah
Sebagai sebuah tema dari syari’ah yang erat kaitan dengan hak-hak miliknya, maqasid al-syariah tidak mendapatkan banyak perhatian dimasa-masa awal pengembangan pemikiran fikih Islam dan mereka sebatas menempatkannya tulisan-tulisan tambahan saja pada hukum–hukum suatu madzhab. Bahkan sampai kepada sekarang banyak teksbook dalam ushul al fiqh yang tidak menyebutkan maqasid al-syariah melalui ulasan topik-topik familiar.
Berbicara lebih dalam, pemikiran fikih Islam telah diikat oleh perhatian para ulama terhadap kesesuaiannya dengan nash, dan teori hukum dari ushul fiqh telah berkembang kepada tujuan-tujuan yang lebih luas lagi. Orientasi pemikiran fuqaha yang literalistik umumnya lebih nyata dalam kecenderungan pendekatan yang dipakai (tradisionist / ahl al-Hadist) dari pada fuqaha yang rasionalistik (ahl ar ra’yu). Fuqaha yang litarelistik cenderung melihat syari’ah sebagai sebuah tatanan nilai, perintah dan larangan yang ditujukan kepada individu yang mukallaf dan semua itu nantinya diharapkan sesuai dengan instruksinya. Disatu sisi, sesuatu yang dapat dijadikan acuan telah terindikasikan, disisi lain mereka melihat syari’ah baik sebagai tatanan nilai maupun sistem nilai berada dalam aturan-aturan yang spesifik yang dilihat sebagai manifestasi nyata terhadap nilai-nilai yang dikesampingkan. Tradisi fuqaha tekstualistik ini pada tiga abad pertama tidak banyak tertarik kepada maqasid al-syariah dan barulah banyak dibicarakan sampai kepada al-Ghazali (w.505/1111) dan kemudian al-Shatibi (w.709/1388) yang berkembang secara signifikan dalam bentuk formulasi teori maqasid.
Tinjauan dasar dalam melihat ini bahwa teori maqasid al-syariah sebenarnya tidak diingkari oleh para madzhab, sebelumnya maqasid ini lebih berada pada sisi mainstream pemikiran fuqaha yang diwujudkan dalam berbagai tema dan doktrin ushul fiqh. Kecuali madzhab Zahiri yang menetapkan bahwa maqasid hanya dapat diketahui setelah suatu itu diidentifikasilkan dan dideklarasikan oleh nash dhohir tetapi mayoritas ulama tidak membatasi kepada nash-nash dhohir saja. Bagi mereka telah dapat dirasa dan dimengerti syari’ah itu menjadi rasional, terorientasi oleh suatu tujuan (goal-oriented) dan aturan-aturannya secara umum ditemukan pada masalah-masalah yang nyata. Persesuaian yang belaka terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan tujuan dan tinjauan syari’ah secara umum tidak diterima. Pendekatan yang secara keseluruhan berbeda terhadap maqasid diambil oleh Bathiniyyah yang berpegang, tidak dengan madzhab dzahiri, esensi dan tujuan nash-nash selalu ditemukan, tidak dalam kata-kata eksplisit dari nash, tetapi dalam arti yang tersembunyi (bathin), oleh karena itu nama kelompok mereka Bathiniyyah.
Ada juga perbedaan orientasi diantara pemimpin madzhab terhadap maqasid: beberapa diantara mereka lebih terbuka untuk itu dibanding dengan yang lainnya, tetapi penggabungan kedalam goals dan objectives syari’ah secara umum tidak banyak dibicarakan. Hal ini malah bertentangan dengan fakta bahwa Al-qur’an itu sendiri memperlihatkan kesadaran meletakan tujuan dan maksud suatu hukum dan sering menguraikan penyebab-penyebab dan dasar pemikiran saat mereka temukan. Sikap diam dari sebagian ulama berkaitan dengan identifikasi maqasid mungkin telah seharusnya sebagian unsur-unsur proyeksi dan ramalan demikian sebuah ujian dapat dilibatkan. Tentu, sebagai contoh, siapa yang dapat mengatakan bahwa ini atau itu adalah merupakan tujuan atau tujuan yang justru dikesampingkan oleh Pembuat hukum, tanpa menggunakan tingkat spekulasi, tentu kecuali, jika nash telah mendeklarasikannya juga. Kemudian untuk membatasi cakupan maqasid hanya tertuju kepada pernyataan yang dhzohir dari suatu nash juga tidak cukup, seperti saya akan jelaskan.
Tidak sampai permulaan abad keempat, istilah maqasid telah digunakan. Manuskrif-manuskrif fuqaha Abu Abdillah al- Thirmidzi al-Hakim (w.320/932) dan kembali berulang rujukan-rujukan itu muncul dalam hidup Imam al Haramain al-Juwayni (w.479/1085) yang mungkin ulama pertama kali dalam mengklasifikasikan maqasid al-syariah kedalam tiga kategori yaitu essensial, complementer dan desirable (dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat) yang telah diterima secara umum. Ide-ide Juwayni kemudian dikembangkan lebih jauh lagi oleh muridnya, Abu Hamid al-Ghazali yang menulis panjang dalam public interest (maslahah) dan ratiocination (ta’lil) dalam karyanya, Shifa al Ghalil dan al-Mustafa. Ghazali secara umum mengkritisi maslahah sebagai sebuah bukti, tetapi hal itu menjadi sah/legal jika dikenalkan atau dihubungkan maqasid dari syariah. Karena untuk maqasid sendiri, ghazali menulis dengan pasti bahwa syari’ah mengejar lima tujuan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang dilindungi sebagai sebuah hal prioritas mutlak.
Sejumlah ulama melanjutkan sumbangsihnya terhadap maqasid, mungkin tidak semua dari mereka konsisten, yang sebelumnya penting untuk mengembangkan ide-idenya. Sayf al-Din al-Amidi (w.631/1233) meneliti maqasid sebagai kriteria preferensi al-tarjih diantara konflik analogi-analogi dan gabungan dalam sebuah perintah prioritas antara berbagai pengelompokan maqasid. Amidi juga telah membatasi maqasid yang penting itu hanya kedalam lima bagian. Fuqaha Maliki, Shihab al-Din al-Qarafi (w.684/1285) telah menambahkan satu lagi bagian dari essensial maqasid yaitu al-ird (kehormatan) dan ini didukung oleh Taj al-Din ‘Abd al Wahab ibn as-Subki (d.771/1370) dan kemudian Muhammad ibn ‘Ali al Shawkani (d. 1250/1834). List dari lima nilai yang penting secara jelas didasari dalam sebuah keterangan yang relevan dari bagian Al-qur’an dan as-Sunnah dalam menjelaskan hukuman (hudud). Nilai dari setiap hukuman itu bertujuan untuk mempertahankan dan membela yang dengan konsekuen diidentifikasikan sebagai sebuah nilai yang esensial. Tambahan terakhir dari lima essensi itu yaitu al-‘ird (kehormatan) sebenarnya telah masuk kepada kategori al-nasl atau al-nasab (keturunan), tetapi mereka yang mendukung adanya tambahan ini meyakini dengan jelas bahwa syari’ah telah memberlakukan hukuman had yang terpisah terhadap tuduhan pemfitnah (al-qadhf), yang itu memberikan alasan penambahan. ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam al-Sulaimi (w.660/1262) yang masyhur dalam “ Qawaid al-Ahkam” pada maqasid al-ahkam dan telah menunjukan berbagai macam aspek maqasid khususnya berhubungan dengan ‘illah (sebab) dan maslahah (publik interest) dalam cara yang lebih detail. Jadi, Ia telah menulis pada permulaan kerjanya bahwa: “ tujuan yang terbesar dari seluruh Al-qur’an adalah untuk memfasilitasi masalih (benefits) dan itu berarti yang terjadi pada Al-qur’an dan realisasi dari benefit juga termasuk pencegahan dari kejahatan”. Sulami menambahkan bahwa seluruh kewajiban yang ada pada syari’ah dipastikan dalam mencapai maslahat bagi manusia baik di dunia maupun setelahnya. Bagi Allah Yang Maha Kuasa, Dirinya tidak perlu suatu benefit apapun dan tidak perlu kepatuhan hamba-Nya. Dia diatas segalanya ini dan tak dapat dirusak oleh ketidakpatuhan, bukan pula keuntungan dari penyembahnya. Dengan kata lain, syari’ah memperhatikan dari awal hingga akhir, dengan ciftaan Allah yang membawa benefit.
Taqi al-din ibn Taimiyyah (d.728/1328) mungkin sarjana pertama yang menanggalkan dari ide-idenya yang membatasi maqasid terhadap jumlah yang spesifik dan telah ditambahkan, terhadap keberadaan list dari maqasid, seperti pemenuhan kontrak/aqad, memperkaya list maqasid, tali ukhwah kekeluargaan, menghormati hak-hak dari tetangga, cinta Allah swt, kepercayaan, kejujuran dan kemurnian moral dalam berhubungan. Ibn Taimiyyah telah merevisi cakupan maqasid dari suatu yang ditandai dan dispesifikasikan list itu kedalam list yang tak terbatas (open-ended list) dari nilai-nilai, dan pendekatannya ini telah diterima oleh ulama kontemporer seperti Ahmad al-Raysuni, Yusuf al-Qaradawi dan lainnya. Lebih jauh, Qaradawi telah menyampaikan list of maqasid termasuk kesejahteraan sosial dan tolong-menolong (takaful), kebebasan, martabat manusia, ukhwah manusia, diantara tujuan-tujuan yang lebih tinggi dan maqasid bagian dari syariah. Ini tak diragukan lagi diperkuat dengan baik ukuran terperinci dan ukuran general dari kejelasan Al-qur’an dan as-Sunnah.
Saya mengusulkan untuk menambahkan ekonomi pembangunan dan memperkuat dari R&D dalam teknologi dan ilmu pengetahuan untuk masuk kepada struktur maqasid karena hal ini secara krusial penting dalam menentukan berdirinya ummah pada suatu komunitas dunia. Itu akan tampak dari analisis ini bahwa maqasid al-syariah tetap membuka untuk memperkaya lebih jauh yang mana yang akan tergantung pada prioritas setiap masa/usia.
Identifikasi Maqasid al-Syariah
Sebagaimana disinggung didepan, ‘Ulama telah berbeda dalam melakukan pendekatan identifikasi maqasid al-syariah. Pendekatan pertama dilatar belakangi oleh pendekatan tekstual, yang membatasi identifikasi maqasid al-syariah kepada nash-nash dhohir, perintah dan larangan, yang itu adalah pembawa maqasid al-syariah. Maqasid al-syariah menurut pandangan ini, tidak memisahkan keberadaannya diluar kerangka ini. Adanya sebuah perintah adalah eksplisit dan normatif yang akan menyampaikan tujuan maqsud dari pemberi hukum dalam affirmative sense. Larangan-larangan diindikasikan dari maqasid al-syariah dalam negative sense yang mana tujuan dari perintah larangan adalah untuk menekan dan mencegah kejahatan. Secara umum ini dapat diterima, tetapi ada kecenderungan tertentu dengan kerangka umum ini. Ketika madzhab Zahiri membatasi maqasid al-syariah kepada nash-nash yang jelas, mayoritas ulama mengambil pertimbangan kedua-duanya baik nash dan ‘illah yang harus digaris bawahi dan menjadi dasar pemikiran dari nash itu. Shatibi telah berbicara secara baik perlunya untuk mengobservasi dan mematuhi perintah eksplisit, tetapi kemudian dia menambahkan bahwa ketaatan kepada nash yang jelas seharusnya tidak begitu kaku sebagaimana mengasingkan dasar pemikiran dan tujuan nash dari kata-kata dan kalimat. Shatibi menambahkan kekakuan jenis ini bertentangan dengan sendirinya terhadap tujuan pemberi hukum, karena hanya akan mengabaikan nash yang jelas itu sendiri. Ketika nash, apakah itu perintah atau larangan, dibaca dalam hubungannya dengan tujuan dan dasar pemikiran, ini adalah sebuah pendekatan yang tegas, seseorang memikul lebih besar keharmonisan dengan maksud pemberi hukum. Shatibi telah mengelaborasi bahwa maqasid al-syariah yang diketahui dari pemahaman nash yang komprehensif mempunyai dua jenis yaitu utama (asliyyah) dan ikutan (tab’iyyah). Pembentuk dari dharuriyyat dimana mukallaf, orang yang sudah dapat dibebankan hukum, harus mengawasi dan melindungi tanpa memperhatikan kesukaan seseorang, sementara hajiyyat yaitu yang ditinggalkan mukallaf mempunyai fleksibilitas dan pilihan.
Pemahaman yang komprehensif dari perintah tekstual syari’ah telah memberikan munculnya beberapa pertanyaan apakah itu berarti wajib atau haram yang harus dilihat sebagai bagian dari tujuan yang ingin dicapai oleh perintah itu, apakah berarti sebuah komando, dengan kata lain, juga merupakan bagian integral komando itu. Pertanyaan selanjutnya apakah menghindari lawan dari suatu perintah bagian integral juga dari tujuan dan sasaran yang dicari oleh perintah itu. Respon jawaban ini secara umum bahwa aspek-aspek komplementer dari perintah dan larangan adalah sebuah bagian integral dari tujuan ini, meskipun telah muncul detail perselisihan-perselisihan. Banyak dari perintah-perintah syari’ah mudah dapat dimengerti, dan tujuannya sebagaimana lawan/kebalikannya dapat diketahui dan dipastikan dari pemahaman nash yang jelas. Jadi perlu dicatat apapun mungkin perlu untuk mengeluarkan sebuah perintah atau wajib adalah juga bagian dari wajib. Shatibi telah menyimpulkan apapun adalah complementary kepada maqasid al-syariah dan dalam pelayanannya juga bagian dari maqasid al-syariah. Pertanyaan yang muncul kemudian menyangkut diamnya Pemberi hukum berhubungan dengan sebuah perilaku tertentu dalam situasi khusus dimana pemahaman yang menyeluruh dari bukti yang relevan memberikan keterangan nilai dari perilaku itu. Pertanyaannya mungkin ditempatkan sebagai berikut: kita tahu bahwa maqasid al-syariah diketahui dari perintah yang jelas, tetapi dapatkah perintah diketahui dari pemahaman yang menyeluruh pada nash-nash dengan cara induksi (mengambil kesimpulan)? Ini adalah dimana Shatibi telah memberikan respon yang baik, dan inilah apa yang akan kita ambil berikutnya.
Induksi (istiqra) menurut shatibi merupakan metode paling penting dalam pengidentifkasian maqasid dari syariah. Ada banyak macam referensi tekstual kepada sebuah subjek, (namun) mungkin tidak ada sifat dari sebuah perintah yang tegas. Sebelumnya bobot kolektifnya seperti meningggalkan sedikit keraguan mengenai arti yang dihasilkan olehnya. Dalam kata lain, kesimpulan yang tegas dihasilkan dari pluralitas ekspresi spekulatif. Shatibi mengilustrasikan hal ini dengan mengatakan bahwa tidak ada dalam Al-qur’an pernyataan spesifik terhadap effek bahwa syari’ah telah menjadikan maslahah bagi orang-orang. Sebelumnya ini adalah kesimpulan definitif yang digambarkan dari pemahaman kolektif dari sebuah tekstual. Shatibi kemudian menambahkan bahwa benefit (masalih) adalah untuk dimengerti lebih luas yang tidak hanya menyinggung dunia namun hari akhirat, individu termasuk komunitas, materi, moral dan spritual, dan yang menyingung kepada keadaan sekarang seperti juga ketertarikannya pada masa depan. Arti yang luas dari benefit ini juga termasuk pencegahan dan penghilangan kerusakan. Malahah ini tidak selalu dapat dibuktikan dan dipastikan dengan alasan manusia sendiri tanpa bantuan dan petujuk wahyu Allah.
Jenis klasifikasi dari maqasid al-syariah kedalam tiga kategori yaitu essensial, complementary dan desirable, dan kesimpulan bahwa Pembuat Hukum telah memasukan perlindungan yang mendasari ini, sekali lagi, dalam induksi –karena tidak ada pernyataan spesifik dalam sumber-sumber tekstual. Dengan catatan yang sama, aturan syari’ah yang sah dalam tindakan ibadah tidak dapat didirikan dengan arti ijtihad — sebuah kesimpulan induktif yang digambarkan dari dalil-dalil yang jelas pada subjeknya – -karena tidak ada perintah spesifik dalam sumber-sumber yang mempengaruhinya. Konklusi ini sungguh penting dimana tidak ada keraguan, tidak juga kredibilitas suatu hal yang beralasan menjadi spekulatif. Metode induktif yang sama juga telah membawa ulama pada kesimpulan bahwa proteksi lima unsur penting dan penting diutamakan pada syari’ah –tidak ada aturan tekstual untuk menjelaskan dan mengkategorikan atau menjumlahkan nilai-nilai dalam perintah itu.
Metode induksi Shatibi tidak dibatasi terhadap identifikasi tujuan-tujuan dan nilai tetapi juga menyampaikan perintah dan larangan yang boleh jadi didapatkan melalui Nash yang dhohir, atau dari pemahaman kolektif sejumlah pernyataan tekstual yang mungkin munjul dalam berbagai macam konteks. Shatibi kemudian melanjutkan langkah lebih jauh untuk mengatakan bahwa konklusi induktif dan posisinya yang juga didirikan adalah premis-premis general dan keberatan yang menolaknya dari syari’ah dan juga mempunyai perintah yang penting yang lebih tinggi dari pada aturan-aturan khusus. Ini bisa menjadi jelas bahwa induksi adalah metode pertimbangan dasar (the principal methode of reasoning) dan membuktikan terhadap jalan yang Shatibi ambil dalam teori maqasidnya merupakan kontribusi nyata pada tema ini.
Pendekatan Shatibi terhadap induksi mengingatkan pada pengetahuan yang disyaratkan personality dan karakter individu yang terus-menerus bersatu dengannya disertai pengamalan perilakunya lebih dari satu periode. Jenis pengetahuan ini luas dan bersifat holistic, karena pengetahuan itu diperkaya dengan wawasan dan mungkin dapat diandalkan ketika dibanding pengetahuan yang didasari hanya kepada observasi khusus, kejadian yang terisolasi dalam aktivitas keseharian perhatian individu.
Maqasid dan Ijtihad
Telah dijelaskan dalam teorinya, Shatibi menekankan pengetahuan akan maqasid al-syariah sebagai prasyarat pencapaian seseorang kepada tingkat mujtahid. Jadi siapa yang mengingkari persyaratan ini maka dengan begitu mereka telah mengambil resiko karena akan membuat ijtihad mereka dapat dianggap salah. Termasuk dalam hal ini orang-orang yang mendukung melakukan sesuatu yang baru dalam ajaran Islam atau ahli bid’ah, orang yang telah mengunci pada sebuah nash yang nyata dari Al-qur’an tanpa mempertimbangkan atas tujuan dan maknanya. Innovator-innovator ini (pengikut khawarij) berpegang kepada ayat-ayat yang mengandung mutasyabihat dan menetapkan konklusinya oleh mereka sendiri. Mereka mengambil sepotong-potong ayat dan pendekatan atomistic terhadap pemahaman Al-qur’an yang menjadikan gagal mengikat bagian-bagian relevan secara bersamaan.
Disisi lain, pemimpin ulama mempunyai pandangan bahwa syari’ah sebagai kesatuan dimana aturan-aturan terperincinya harus dipahami dalam sudut premis dan tujuan aturan tersebut yang lebih luas. Tahir ibn’ Ashur yang mengarang kitab Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah juga telah memberitahukan bahwa knowledge dari maqasid al-syariah sangat dianjurkan sekali dalam ijtihad dalam semua manifestasi knowledge. Beberapa ulama yang telah membatasi cakupan ijtihad mereka hanya kepada interpretasi literal telah menempatkan bahwa hal itu (knowledge) dimungkinkan, Ibn Ashur menambahkan, memproyeksikan sebuah opini personal kedalam kata-kata nash dan jatuh pada kesalahan, menyebabkan mereka berada diluar garis dengan spirit umum dan tujuan dari bukti-bukti yang ada. Ini dapat diilustrasikan terhadap pandangan berbeda para ulama tentang komoditas zakat seperti gandum dan kurma harus diberikan setimpal atau juga dapat dikonversikan dengan equivalen uang. Hanafi berpendapat bahwa pembayaran zakat melalui konversi kepada uang boleh dilakukan dan sah tetapi Imam Syafi’i sebaliknya. Pandangan Hanafi ditemukan dalam analisis bahwa tujuan zakat adalah untuk memuaskan kebutuhan orang miskin dan ini dapat dicapai ketika diberikan dalam bentuk moneter yang equivalen dengan komoditi. Ibn Qayim al-Jauziyyah juga telah memperhatikan berkaitan dengan zakat fitrah yang disana ada hadist-hadist yang mengacu kadang-kadang zakat fitri itu berupa kurma, kadang lain berupa kismis atau biji makanan, semua ini adalah makanan pokok ketika itu di Madinah dan lingkungan sekitarnya.
Tujuan umum dari semua ini adalah untuk memuaskan kebutuhan orang miskin daripada membatasi pembayarannya dalam komoditi yang terikat. Contoh yang lain dari ini adalah, Imam Maliki (w.179/795) ketika ditanya seseorang yang membayar zakat dimuka (sebelum waktunya, haul), apakah itu merupakan utama/prioritas terhadap haul–artinya ketika ia membayar zakat dimuka, maka pada saat akhir tahun ia harus bayar lagi –.Imam Malik menjawabnya dengan qiyas penunaian shalat. Jika seseorang melakukan shalat sebelum waktunya, dia harus mengulanginya lagi pada waktu yang tepat. Namun, pengikut Madzhab Maliki seperti Ibn al-Arabi (w. 543/1148) dan Ibn Rusyd (w.529/1126) telah merubah pendapat ini dan menyatakan bahwa zakat yang dikeluarkan sebelum waktunya dibolehkan. Mereka telah membedakan antara shalat dan zakat dalam bentuk batasan waktu kepada waktu yang spesifik, dan ini tidak seperti waktu yang ditetapkan terhadap zakat. Karena itu zakat boleh dibayar lebih awal khususnya jika disiapkan oleh hanya beberapa pekan atau lebih. Abu Hanifah yang sering dikritisi oleh Ahl al-Hadist yang mengangkat dalam kesempatan dari kata-kata hadist sebagai alternatif aturan. Tetapi dalam waktu yang dekat membuat Abu Hanifah menjadi jelas bahwa ia telah melakukan hanya ketika telah mencapai kesimpulan yang berbeda melalui pemahaman hadist yang mempunyai hubungan dengan relevansi kenyataan dalam Al-qur’an dan as-Sunnah.
Patut dicatat bahwa dalam kesempatan-kesempatan mujahid dan hakim telah mengeluarkan keputusan dalam memutuskan sesuatu perkara, yang kalau diteliti lebih jauh ditemukan ketidakharmonisan dengan tujuan dan sasaran syari’ah. Contoh dari sifat ini dapat ditemukan kontrak yang terjadi diantara dua pihak yang ditandai dan dibuat ikatan, tetapi selanjutnya terjadi ketidakadilan yang menimpa satu pihak karena beberapa perubahan yang tak diharapkan dalam lingkungannya. Dalam hal ini hakim dan mujahid dapat mengabaikan dengan keras perubahan-perubahan berikutnya dan menuntut kewajiban dari salah satu pihak yang melenceng dari kesepakatan awal kontrak. Bagi sebuah kontrak, bukan melamakan suatu jangka waktu kontak yang merusak akan tetapi cukup dilihat apakah kontrak itu terbukti menjadi sebuah instrumen ketidakadilan. Sebuah kontrak harus dijaga dan berkeadilan, dimana tujuan maqasid al-syariah dari Pemberi Hukum harus diberikan prioritas diatas pertimbangan kesesuaian terhadap kontrak yang tak dapat dipertahankan. Tanpa mendapatkan kejelasan, akan muncul konflik antara tujuan-tujuan syari’ah yang dikesampingkan dan juga aturan-aturan yang terpisah yang dapat hadir dengan rujukan kepada aturan-aturan qiyas (analogi). Ketaatan yang kaku kepada qiyas dalam beberapa kasus mungkin membawa hasil ketidakpuasan, oleh karena itu jalan yang lain yang diambil mungkin istihsan agar mencapai sebuah aturan alternatif yang harmonis dengan tujuan syari’ah.
Segi yang lain yang penting untuk ijtihad adalah perhatian seorang mujtahid harus diarahkan kepada hasil akhir dan konsekwensi aturannya. Bagi sebuah fatwa atau ijtihad akan menjadi tidak baik jika fatwa gagal untuk merenungkan konsekwensi (ma’alat) yang dimilikinya. Kita mencatat dalam contoh sunnah Nabi saw, dimana Beliau sering memperhatikan konsekwensi dari aturan yang dikeluarkannya berkaitan dengan pertimbangan lainnya. Untuk contoh, ada kasus dimana Nabi telah mengetahui tentang aktivitas subversif yang dilakukan oleh orang Munafik (Abdullah bin Ubay), tetapi beliau tidak menghukumnya karena berbagai alasan, sebagaimana Beliau nyatakan bahwa Ia takut dikatakan membunuh sahabatnya sendiri. Nabi Muhammad saw juga menghindari untuk merubah posisi atau letak Ka’bah kepada posisi asli seperti yang telah diletakan oleh Nabi Ibrahim. Sebagaimana diketahui orang-orang Arab sebelum datangnya Islam telah jelas memindahkan letak Ka’bah dari posisi aslinya, kemudian A’isyah menyarankan Nabi untuk memperbaiki Ka’bah kepada posisi aslinya, lalu Nabi merespon bahwa Ia akan melakukan itu jika Ia tidak takut akan menyebabkan penduduk Mekah masuk kedalam ketidakkepercayaannya. Dalam dua kasus itu, Nabi Muahammad saw tidak mengambil apa yang ia pikirkan untuk menormalkan jalan kembali, yaitu membunuh orang munafik dan memindahkan Ka’bah, karena konsekwensi sebaliknya yang akan didapatkan jika dilakukan.
Jalan normal dalam konteks kejahatan dan tindakan kriminal adalah tentu mengaplikasikan hukuman apapun penyebab dan kesempatan untuk itu adalah saat itu juga. Akan tetapi, bagaimanapun ada kasus dimana permintaan ma’af orang yang berdosa akan memunculkan sebuah tindakan yang lebih disukai, hakim atau mujahid harus menaruh perhatian yang besar dalam hal ini dan keputusan tergantung pada orang yang dimintai ma’af. Shatibi telah menggambarkan, dalam hubungan ini, sebuah perbedaan tak kentara antara penyebab (‘illah) yang normal yang meminta dengan tenang sebuah aturan khusus pada masalah yang diberikan dan apa yang dia artikan sebagai verifikasi dari ‘illah yang khusus (tahqiq al-manat al-khaas) dalam mengeluarkan judgement dan ijtihad. Mujahid boleh menginvestigasikan ‘illah yang normal dan mengidentifikasikannya dalam masalah itu, contohnya, seorang yang miskin yang memenuhi syarat menjadi mustahik, dan juga acuan yang dipegang dari kejujuran dalam bersaksi, tetapi seperti penyelidikan mungkin mengambil jalan yang berbeda ketika itu dihubungkan kepada individu yang khusus mengenai apa yang mungkin cocok/pantas dan yang tidak cocok diaplikasikan dalam kasus khusus tadi. Oleh karena itu, mujahid perlu, untuk dipelajari tidak hanya hukum dan bukti khusus yang nyata tetapi juga mempunyai kecerdasan dan wawasan untuk memberikan judgment yang diterangkan baik dengan konsekwensi-konsekwensi seluruhnya dan keadaan khusus dari setiap kasus.
Kesimpulan
Tidak diragukan lagi, bahwa maqasid al-syariah adalah akar dalam perintah tekstual Al-qur’an dan as-Sunnah, tetapi mereka melihat secara utama pada philosophi umum dan tujuan perintah ini sering melebihi bidang keahlian (the speciality) dari teks itu. Fokusnya tidak banyak pada kata-kata dan kalimat dari nash itu sebagaimana dalam tujuan dan maksud yang disarankan dan ditegakan. Dengan perbandingan terhadap teori yang sah dari sumber-sumber, ushul fiqh, maqasid al-syariah tidak dibebaskan dengan dasar-dasar metodologi dan pemahaman para literalis dari suatu nash.
Karena maqasid al-syariah terintegrasikan derajat versatility (kepandaian yang beraneka ragam) dan ke-komprehensif–an kedalam pemahaman syari’ah yang itu, dalam banyak cara, unik dan muncul diatas permukaan seiring dengan pergantian waktu dan keadan lingkungan. Pada saat, ketika beberapa doktrin penting ushul fiqh seperti ijma (general consensus), qiyas (analogical reason) dan bahkan ijtihad dibebani dengan kondisi-kondisi yang sulit, kondisi yang mungkin berdiri dengan sebuah ukuran ketidakharmonisan dengan iklim sosial-politik yang berlaku pada negara-negara Muslim sekarang ini dan akses yang tepat sekali untuk syari’ah. Hal ini secara alami berarti memahami outline yang luas dari sebuah objektif syari’ah pada tempat pertama sebelum seseorang bergerak kepada kekhususan. Pengetahuan yang cukup dari maqasid al-syariah melengkapi kajian-kajian syari’ah dengan pandangan dan menyediakannya dengan sebuah kerangka teorikal yang mana berusaha untuk memenuhi pengetahuan yang terperinci dari doktrin yang bermacam-macam yang dapat menjadi lebih tertarik dan berarti.
Rujukan :
  • Wahbah Zuhaili, Nazariyyat al-Darurah al-Syar’iyyah, 4th ed. (Beirut: Mu’assassat al-Risalah, 1405/1985)
  • Jamal al-Din ‘Abdullallah bin Yusuf al-Zayla’interest, Nasb al-Rayah lembaga intermediasi ahadith al-hidayah (surat: al-Majlis al-‘ilmi, 1938)
  • Yusuf Qaradawi, al-Madkhal li Dirasati al-syari’ah al-Islamiyyah (Kairo: Maktanah Wahbah, 1990)
  • Al-Nasai, Sunan, Manisik, Wujab al-Hajj.
  • Ahmad al-Rasyuni, Nazariyyat al_maqasid ‘ind al-Imam al-Shatibi (Rabat, Maroko: Matba’at al-Najah al-Jadidah, 1990)
  • Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustafa min ‘ilmi al-Ushul. (Kairo: al-Maktabah at-Tijariyyah, 1937)
  • ‘Izz al-Dien Abdul Salam al-Sulami, Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, ed., Taha Abdur Ra’uf Sa’d (Kairo: al- Maktabah al-Husainiyyah, 1351 H)
  • Taqiyuddin ibn Taymiyyah, Majmu al-Fatawa Shaykh al-Islam ibn Taimiyyah. Comp,. Abdul Rahman ibn Qasim (Beiru: Muasssat al-Risalah, 1398 H)
  • Abu Ishaq Ibrahim as-Shatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, ed., Shaykh Abudulllah Diraz (Kairo; Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro)
  • Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin,ed. Muhammad Munir al-Dimashqi. (Kairo: Idarat al-Tiba’ah al-Muniriyyah)
  • Muhamaad Thahir ibn ‘Ashur, Maqasid al-syar’iyyah al-Islamiyyah (Tunis: Matba’ah al-Istiqamah. 1966)
  • Mohammad Hasyim Kamali, Principle of Islamic Jurisprudence. (Cambridge: The Islamic Texs Society, 1991)
  • Al-Bukhari, Shahih, Kitab al-Manakib, Bab Masyarakat’Yunha min Da’wa’i Jahiliyyah.
  • Malik bin Anas al-Muwatta’, Kitab al-Hajj. Bab Maja fi Bina al-Ka’bah

Sabtu, 01 Februari 2014

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Rahimahullah adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Mekkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.

Riwayat

Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).
Awal berada di Mekkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Banyak sekali murid Syaikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali Padang, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

Nasab

Beliau bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin ‘Abdul Lathif [bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khathib dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang, Kec. Ampek Koto, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di tengah keluarga bangsawan. ‘Abdullah, kakek Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah gelar Khathib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.

Pendidikan

Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di mekkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama mekkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di mekkah adalah:
  • Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
  • Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
  • Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
  • Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah, yaitu:
  • Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’I di mekkah-
  • Yahya Al Qalyubi
  • Muhammad Shalih Al Kurdi
Mengenai bagaimana semangat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam thalabul ‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39, “…Beliau adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqat, dan zij, beliau dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.

Murid

Mengenai murid-murid Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah rahimahullah, Siradjuddin ‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama Syafi’I yang kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Syaikh Muhd. Jamil Jaho, Syaikh ‘Abbas Qadhli, Syaikh Musthafa Purba Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia pada tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Khathib Minangkabau ini.” [Thabaqatus Syafi’iyah (hal. 406)]
Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara di banyak tempat.Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam Beberapa Aspek:Guru untuk Generasi Pertama Kau Muda. Namun demikian, tidak salah kiranya kita sebutkan di sini beberapa murid-muridnya yang menonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:
  • Syaikh ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
  • Muhammad Darwis alias Ustadz Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah –pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah-.
  • Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi rahimahullah –salah satu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama-.
  • Ustadz ‘Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al Irsyad
  • Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari rahimahullah –mufti Kerajaan Indragiri-.
  • Muhammad Thaib ‘Umar
  • Dan lain-lain.

Pernikahan

Di antara kebiasaan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah di mekkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan dijadikannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui tentang prihal dan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.
Tentang pengambilan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di mekkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.
Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan purinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:
  • ‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.
  • ‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudulSirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-
Kesuksesan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku, beliau akan berkata,’Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta).’ Aku pun balik bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di langit sana,’ jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak melihat-Mu.’ Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta .’
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat, atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun segera menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah kepada keluarganya adalah beliau selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menganjurkan kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabda beliau, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”

Imam Besar Masjidil Haram Mekkah pertama dari orang non Arab

Kealiman Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dibuktikan dengan dilangkatnya beliau menjadi imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab pengangkatan Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah menjadi imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.

Gagasan-gagasan

Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab.

Karya

Karya-karya tulis Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah.
Karya-karya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam bahasab ’Arab:
  • Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
  • Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
  • Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
  • Raudhatul Hussab
  • Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
  • As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
  • Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
  • An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
  • Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
  • Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
  • Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
  • Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
  • Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
  • Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
  • Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
  • As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
  • Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
  • Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
  • Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
  • Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
  • Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
  • Tanbihul Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwam, sebuah kitab bantahan untuk risalah Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk nimbrung di Sarekat Islam (SI)
  • Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
  • Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
  • Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
  • Adapun yang berbahasa Melayu adalah:
  • Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
  • Ar Riyadh Al Wardiyyah fi [Ushulit Tauhid wa] Al Fiqh Asy Syafi’i
  • Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
  • Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
  • Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
  • Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
  • Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
  • Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
  • Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
  • Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
  • Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
  • Izhhar Zughalil Kadzibin
  • Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
  • Al Jawi fin Nahw
  • Sulamun Nahw
  • Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
  • Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
  • Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
  • Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
  • Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
  • Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu

Wafat

Pada tanggal 9 Jumadil Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’ Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah ke hadhirat-Nya setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini. Ya, jatah beliau tinggal di dunia ini telah habis setelah mencetak kader-kader yang hingga detik ini masih disebut-sebut. Jasad beliau memang sudah tiada, namun kehadirannya seakan-akan masih bisa dirasakan karena keilmuan dan peninggalan-peninggalannya berupa murid-muridnya yang terus memperjuangkan misi-misinya dan terutama karya-karya ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga hari ini. Rahimahullah wa askanahu fasiha jannatih.

Bacaan Rujukan

  • ‘Abduljabbar, ‘Umar. 1403 H. Siyar wa Tarajim Ba’dhi ‘Ulamaina fil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar lil Hijrah. KSA: Tihamah
  • Al-Hazimi, Ibrahim bin ‘Abdullah. 1419 H. Mausu’ah A’lamil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar wal Khamis ‘Asyar Al Hijri fil ‘Alam Al ‘Arabi wal Al Islami min 1301-1417. KSA: Dar Asy Syarif lin Nasyr wat Tauzi’
  • Al-Mu’allimi, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman. 1421 H. A’lamul Makkiyyin min Al Qarn At Tasi’ ilal Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar Al Hijri. KSA: Muassasah Al Furqan lit Turats Al Islami
  • Steenbrink, Dr. Karel A. 1984 M. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang
  • Dahlan, Dadang A. 2007. Cahaya dan Perajut Persatuan Waliullah Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
  • Suprapto, Muhammad Bibit. 2009. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Jakarta: Glegar Media Indonesia
Amrullah, ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
  • Ad-Dahlawi, ‘Abdus Sattar bin ‘Abdul Wahhab. 1430 H. Faidhul Malikil Wahhabil Muta’ali bi Anba’ Awailil Qarn Ats Tsalits ‘Asyar wat Tawali. KSA: Maktabah Al Asadi
  • ‘Abbas, Siradjuddin. 2011. Thabaqatus Syafi’iyah, Ulama Syafi’I dan Kitab-Kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget