BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abdul Karim Al-Jilly
Nama lengkap tokoh ini ialah ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan “Syeikh” yang biasa dipakai di awal namanya.Selain itu juga ia mendapat gelar “Quth al-Din” (poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan alasan bahwa menurut pengakuannya sendiri ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jailani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli.[1]
Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w.821).[2]
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Karena kesetabilan kota India pada saat itu memungkinkan tasawuf-falsafi dan tariqah-tariqah di India berkembang dengan pesat. Namun sebelum perjalanannya ke India ia berhenti di Persia dan belajar bahasa Persia, sehingga ia pun dapat menyelesaikan satu buah buku dengan judul, Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif di kota ini (Persia). Empat tahun kemudian (803 H) ia pun berkunjung ke kota Kairo dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al-Qina’ an Wujud al-Istima. Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah dua tahun kemudian, kurang lebih, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti), di kota Zabid lah ia menghabiskan hidupnya sampai akhir hayat.
B. Karya-karyanya
Karya-karya al-Jilli sebagaimana riwayat hidupnya tidak banyak diketahui secara pasti, namun terdapat tiga tokoh pemikir yang melakukan penelitian mengenai karya-karya al-Jilli dan ternyata hasil dari ketiga peneliti itu membuktikan bahwa masing-masing mereka saling melengkapi. Penelitian pertama dilakukan oleh Haji Khalifah, ia mencatat bahwa al-Jilli telah menulis 6 (enam) judul karya tulis. Sedangkan peneliti kedua adalah Ismail Pasya al-Bagdadi, ia menambahkan 5 (lima) karya al-Jilli dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dan yang lebih banyak penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya al-Jilli. Namun, karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang dilakukan oleh Haji Khalifah, yang menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:[3]
a. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail
Buku ini adalah bukunya yang paling poluler, dan buku ini mengupas dengan mendalam konsep insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis
b. Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah
Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
c. Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim
Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur’an—al-Jilli, di dalam karya ini menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.[4]
d. Lawami’ al-Barq
e. Maratib al-Wujud
Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib.
f. Al-Namus al-Aqdam
Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
C. Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits :[5]
Artinya : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman.”
Hadits lain yang artinya : “Allah menciptakan Adam, dalam bentuk diri-Nya.”
Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra Tuhan.
Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia.
Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna).
· Akar Konsep Insan Kamil al-Jilli
Konsep Insan Kamil dengan sangat jelas merupakan perpanjangan dari konstruksi pemikiran dari sebuah penghayatan, yang dikemukakan oleh para sufi cerdas. Hal ini bisa dilihat secara historis dalam literatur pemikiran Islam di sekitar awal abad ke-7 H/13 M, dengan munculnya karya agung Ibn ‘Arabi (w. 638 H/1240 M) al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushus al-Hikam.
Walaupun orang pertama yang membuka jalan bagi munculnya konsepsi manusia seutuhnya adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj seorang tokoh sufi Bagdad (244-309 H/858-922 M), dengan mengemukakan konsepsi nur Muhammad dan al-hulul, yaitu konsep yang mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh orang tertentu untuk tempatnya setelah sifat-sifat kemanusiaan orang itu dihilangkan. Dengan ajaran hulul itu al-Hallaj mengatakan bahwa di dalam diri Tuhan terdapat sifat-sifat kemanusiaan yang dinamakan nasut, dan dalam manusia terdapat sifat ketuhanan yang dinamakan lasut. Ajaran hulul ini mendapat bentuk yang lebih sempurna setelah datang seorang sufi yang bernama Ibn ‘Arabi, merekonstruksi dan mengembangkan ajaran hulul al-Hallaj menjadi wahdatul al-wujud. Contoh kecil dari perubahan itu adalah perubahan istilah lahut al-Hallaj dia tukar dengan sitilah al-haq dan nasut dia tukar dengan al-khalq.
Dan keduanya ini mempunyai hakikat yang satu, dimana yang dzahirnya adalah al-khalaq (makhluk), dan yang bathinnya adalah al-haq (Tuhan). Al-haq ini akan ber-tajjali pada al-khalq yang paling tinggi citra wujudnya, dan kesempurnaan tajjali ini akan terwujud pada manusia yang paling sempurna citra wujudnya. Selanjutnya istilah insan kamil ini digunakan oleh seorang sufi besar dengan nama Abd al-Karim Ibn Ibrahim al-Jilli (767-826 H/1365-1422), untuk mengidentifikasi konsepsinya mengenai manusia sempurna.
Dan sebetulnya konsepsi al-Jilli, mengenai Insan Kamil ini, tidak lebih hanya sebagai penerus konsep Ibn ‘Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya memperjelas dan mensistematisasi konsep insan kamil Ibn ‘Arabi yang telah ada dengan pengembangan yang lebih jauh mengenai konsep insan kamil Ibn ‘Arabi.
Selain paham di atas, ada lagi yang berpendapat bahwa konsep manusia sempurna ini berasal dari paham Neo-Platonisme, hal ini diperjelas oleh Rasyidi sebagai berikut:
“Hakekat Muhammad atau Nur Muhammad adalah suatu hasil dari meresapnya Neo-Platonisme. Menurut paham Neo-Platonisme ada tiga hal: pertama, The One atau The God atau The First Principle; kedua, The Devine Mind atau nous; dan yang ketiga, adalah soul. Dari yang pertama memancarlah yang kedua, yang merupakan the world of form (alam misal), dan dari alam misal memancarlah alam materi ini. Hubungan antara alam materi dan the devine mind dinamakan soul. Pancaran dari Tuhan tanpa ada kehendak dari Tuhan, dan hal ini terjadi secara otomatis”.
Menurut konsepsi Nur Muhammad ini Tuhan menciptakan Nur Muhammad, baru setelah itu segala yang diciptakan memancar dari yang Esa. Jika dibandingkan dengan teori Neo-Platonisme Tuhan menancar yang disebut logos. Logos dengan kekuatannya memancar roh yang merupakan kesatuan roh-roh. Sejalan logos dalam Neo-Platonisme dan Nur Muhammad sama berfungsinya sebagai perantara dalam penciptaan.
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insane kamil. Lebih lanjut, Al-Jilli mengemukakan bahwa pwrumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insane kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan sebaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat :
Artinya: “sesugguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzab: 72)
Proses Munculnya Insan Kamil Seperti Ibn ’Arabi, al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya insan kamil. Menurut al-jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya adalah:
Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan “Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).
Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya.
Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga penurunan (tanazzul):
· Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
· Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
· Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan.
Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan.
Kelima,Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat).
Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:
1. al-Islam, dimana pada tingakt ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu
2. al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar
3. al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan harap (raja’)
4. al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas
5. al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya
6. al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:
a. ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
b. ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
c. haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan
7. al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
a. al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya
b. al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya
c. al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas
d. al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimana pun ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.
e. Kedudukan Insan Kamil
Seperti Ibn ’Arabi juga, al-jili memandang insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan manusia kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan.
Kelebihan itu, tidak lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Sebagai contoh, al-jili menunjuk nabi Daud a.s. ia mempunyai moral dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi pada diirnya termanifestasi sifat-sifat afal (sifat-sifat aktif) Tuhan melebihi sifat-sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan tajalli dari sifat-sifat afal.
BAB III
KESIMPULAN
‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap).
Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna). Menurut al-Jilli, Lawh al-Mahfuzh yang dipandang sebagai ketentuan-ketentuan dan catatan-catatan ilmu Tuhan tentang makhluk-Nya identik dengan al-Nafs al-Kulliyah (jiwa universal) atau dalam bahasa Hallaj adalah ‘nur muhammad’ yang secara paripurna dapat ber-tajjali pada Insan Kamil, dan manjadi perantara antara Tuhan dan makhluk, karena ia (Insan Kamil) adalah khalifah yang diutus untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Dan ‘hakikat muhammadiyah’ ini dalam pandangan al-Jilli sendiri adalah sebagai makhluk dan bersifat baharu. Tidak seperti pandangan Ibn ‘Arabi yang menganggapnya qadim dan baharu, dan al-Halaj menganggapnya qadim saja.
Hakikat al-Muhammadiyah sebagai makhluk pertama yang diciptakan Tuhan di dalam ilmu-Nya, itu seperti cahaya Tuhan yang menerangi-Nya dari ketiadaan (nihilo).
Namun ketiadaan Tuhan disini bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi tidak ada karena kesucian-Nya yang terbebas dari segala ada selain Diri-Nya, segala persepsi dan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tentang Tuhan. Karena cahaya yang diciptakanNya pertama kali belum mampu memberikan gambaran tentang Diri-Nya. Kemudian dengan kekuasaan-Nya Ia ciptakan makhluk dari yang berupa non-materi hingga yang materi untuk menjadi saksi kewujudan-Nya, tetapi dari semua makhluk yang ia ciptakan hanya manusia lah yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang Diri-Nya sehingga manusia pun diberi amanat sebagai khlaifah untuk itu.
Namun ketiadaan Tuhan disini bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi tidak ada karena kesucian-Nya yang terbebas dari segala ada selain Diri-Nya, segala persepsi dan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tentang Tuhan. Karena cahaya yang diciptakanNya pertama kali belum mampu memberikan gambaran tentang Diri-Nya. Kemudian dengan kekuasaan-Nya Ia ciptakan makhluk dari yang berupa non-materi hingga yang materi untuk menjadi saksi kewujudan-Nya, tetapi dari semua makhluk yang ia ciptakan hanya manusia lah yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang Diri-Nya sehingga manusia pun diberi amanat sebagai khlaifah untuk itu.
Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan ciptakan pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 2004.
Ichang , Insan Kamil ‘Abd al Karim al Jilli, available: ichang.org, diakses tanggal 2 Juni 2009.
Mansur, Laily. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Mustofa, Akhlak Tasawuf.Bandung : CV Pustaka Setia, 2007.
[1] Rosihan, Anwar, dkk. Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia,2004), hlm 143-144.
[2] Rosihan, Anwar, dkk. Ilmu Tasawuf……, hlm144
[3] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hlm. 185-187.
[4] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi…., hlm 187


0 komentar:
Posting Komentar